Cerpen "Si Bocah"

Seorang bocah berjalan menuju sebuah restoran cepat saji. Dia memandang di
balik kaca restoran itu, melihat seorang anak sedang menyantap ayam goreng bersama
orangtuanya.
“Wuah enaknya…betapa bahagianya seandainya aku seperti anak itu, makan ayam
goreng yang renyah dan nikmat, yummy!” tak sadar air liur menetes dari mulut bocah
itu. Lalu si bocah memasuki ruangan restoran itu. Dia melihat para pengunjung restoran
memesan dan membayar dengan sejumlah uang di depan seorang gadis cantik, kasir
restoran itu. Seperti layaknya pemesan, si bocah mencoba memesan makanan.
“Mba…saya memesan yang itu!” sambil menunjuk gambar paket yang dia sukai. Tapi
pelayan restoran tidak mempedulikannya.
“Hik…hik…hik…kenapa Mba itu tidak peduli padaku, padahal aku ingin sekali
menikmati renyahnya ayam Kolonel Sanders itu” si bocah menangis tersedu-sedu.
“Kamu lapar, sayang? mau makan?” tanya seorang Ibu yang berdiri di hadapan si
bocah.
“Mau…mau, aku lapar sekali, Bu!” jawab si bocah kegirangan sambil menyeka air
matanya.
“Mau Ma, aku ingin pesan yang itu!” ucap seorang anak yang berdiri di belakang si
bocah sambil menunjuk gambar paket kesukaannya. Si bocah menoleh ke belakang,
dikiranya si Ibu itu menawarkan makanan padanya, tapi pada anak yang berdiri di
belakangnya. Wajah yang tadinya terlihat riang kembali sendu. Anak itu membawa
makanan yang dipesannya. Si bocah perlahan-lahan menghampiri meja yang diduduki
oleh anak itu dan mencoba meraih ayam itu.
“Menyentuh saja aku tidak bisa, apalagi menikmatinya…” keluh si bocah.

Dengan tertunduk lesu, si bocah melangkahkan kakinya pergi meninggalkan
restoran itu. Tak jauh dari restoran itu terdapat taman hiburan, tempat bermain anakanak.
Mendengar tawa riang anak-anak yang sedang bermain, si bocah menghampiri
tempat itu. Anak-anak sedang asik bermain perosotan, ayunan, kuda-kudaan, bom-bom
car, kereta mini yang ditumpangi oleh mereka.
“Asiknya bisa bermain seperti mereka…” pikir si bocah tersenyum melihat anak-anak
tertawa riang.
Hari pun beranjak siang. Sinar matahari mulai menyengat tubuh. Si bocah melihat
sebuah mobil meluncur ke arahnya. Dia berusaha menghindar agar tidak tertabrak mobil
itu.
“Hei…liat-liat dong kalo nyetir, kalo aku tertabrak gimana!” si bocah kesal. Dia melihat
anak-anak penuh riang dan canda di dalam mobil yang bertuliskan BUS SEKOLAH. Si
bocah berlari mengejar mobil itu dan berhasil menumpangi dengan berdiri di
belakangnya. Akhirnya sampailah mobil itu di sebuah tempat.
“Wuah, ramai sekali tempat ini, banyak anak-anak berseragam sama, apa yah nama
tempat ini? mmm…SEKOLAH, aku tahu, sekolah khan tempatnya belajar, ada guru,
ada murid. Wuah senangnya yah mereka bisa sekolah, punya buku baru, tas baru,
seragam baru, semuanya serba baru, dan bisa punya banyak teman…sedangkan aku?” si
bocah tertunduk sedih. Lagi-lagi, kaca-kaca cair menghiasi matanya. Sambil
memandang anak-anak yang sedang belajar di ruang kelas, perlahan-lahan si bocah
melangkahkan kakinya pergi meninggalkan tempat itu.
Di sepanjang jalan dia berpikir kenapa kehidupannya tidak sebaik anak-anak itu.
Bisa makan bersama dengan orangtua dan orang yang dicintai di restoran, bermain di
taman hiburan, dan bersekolah agar pintar dan mempunyai banyak teman. Dalam
kekalutan, tak sadar si bocah berada di sepanjang jalan raya, perempatan lampu merah.
Dia melihat setiap lampu merah menyala mobil-mobil itu berhenti. Lalu pandangannya
tertuju pada anak-anak yang menengadahkan tangannya pada setiap mobil yang berhenti
itu.
“Pak, minta duit Pak, saya sudah tiga hari belum makan…” pinta seorang anak yang
tampangnya lusuh, bajunya compang-camping. Si bocah merasa iba melihatnya.
Ternyata banyak anak yang lusuh dengan baju compang-camping meminta-minta pada
setiap pengendara. Ada yang ngamen, mengetok-ngetok kaca mobil meminta uang
recehan, demi sesuap nasi. Di sudut jalan si bocah melihat gerombolan anak-anak
kumal sedang menghisap sesuatu.
“Sedang apa mereka?, menghisap kaleng kecil…sampai-sampai terlena dibuatnya.
Masih kecil sudah merokok…kenapa orangtuanya tidak melarang yah?”
Sebuah mobil berhenti di sudut jalan itu. Seorang wanita cantik dengan membawa
mikrofon dan seorang pria dengan membawa kamera menghampiri anak-anak itu.
Mereka orang-orang dari Stasiun TV.
“Dik…boleh kakak tanya, kenapa kalian suka nge-lem, sich?” tanya reporter itu.
“Biar saya lebih berani aja…kalo kagak nge-lem malu minta duit sama orang-orang!”
jawab salah seorang anak yang matanya terlihat sayup sedang asik menghirup kaleng
kecil.
“Yah ampun!, sampai begitu parahnya mereka melakukan itu, itu khan bisa berbahaya
bagi tubuh mereka, aku tidak habis pikir, kemana orangtua mereka, kenapa mereka
masih kecil sudah mencari nafkah sendiri, seharusnya mereka mendapatkan hak untuk
kehidupan yang layak, seperti anak-anak yang sebelumnya aku lihat, seperti pendidikan,
makanan, pakaian, kesehatan…” ucap si bocah kesal.

Dia berpikir orangtua mereka tidak bertanggung-jawab atas kehidupan mereka,
membiarkan anak-anaknya mencari nafkah sendiri.
“Nasibku seperti mereka…mencari nafkah sendiri, orangtuaku tidak peduli padaku…”
“Entah dimana mereka sekarang, aku akan mencarinya…untuk menuntut hakku!”
Hari pun mulai gelap. Si bocah berjalan mengelilingi suatu tempat mencari
dimana orangtuanya berada. Si bocah menelusuri bantaran sungai, dimana terakhir
kalinya dia melihat orangtuanya.
“Orangtuaku membuang aku ke sungai ini. Terakhir kali aku melihat orangtuaku terlihat
cemas dan ketakutan, tapi aku tetap tersenyum, berusaha menenangkan mereka. Bagi
mereka senyumanku itu adalah senyuman terakhir, kala mereka melempar aku ke sungai
ini. Aku tidak lagi merasakan kehangatan. Tubuhku menggigil kedinginan, sampai pada
akhirnya aku…” tak kuasa si bocah mengenang kembali kejadian malam itu. Air mata
menetes di pipinya. Dia merasa bukan saja orangtuanya tidak bertanggung-jawab atas
dirinya, tapi mereka juga merenggut hak hidupnya.
“Hik…hik…hik…Mama…Papa…jangan tinggalkan aku…” suara tangisan anak kecil
mengusik lamunan si bocah.
“Siapa gerangan anak yang menangis itu?” pikir si bocah mencari sumber suara.
“Hik…hik…hik…Mama…Papa…aku kedinginan..” tangis anak itu lagi.
“Oh, kamu rupanya…kenapa malam-malam jalan sendirian?” tanya si bocah pada anak
yang mungil yang sekarang berdiri di hadapannya sambil menangis mencari-cari
sesuatu.
“Kak, kakak lihat Mama dan Papaku, tidak?” tanya si anak mungil itu. Si bocah
tersontak kaget. Anak mungil itu bisa melihat dirinya.
“Dia bisa melihat aku, berarti dia sudah…” pikir si bocah.

“Dik, rumah kamu dimana? nanti kita sama-sama mencari orangtua kamu, yah!” si
bocah berusaha menenangkan si anak mungil itu. Lalu si anak mungil menunjukkan
rumahnya.
“Itu Kak, rumah aku di sana!” seru anak mungil itu sambil menunjuk sebuah gundukan
tanah yang masih terlihat “baru” di sekitar gubug tua. Si anak mungil menceritakan
bahwa dirinya adalah korban aborsi. Tubuhnya dikubur di tempat itu.
“Yah ampun, tega sekali orangtua kamu melakukan itu padamu!” ucap si bocah dengan
nada tinggi. Pandangan si anak mungil tertuju pada sepasang muda-mudi yang duduk di
teras depan gubug itu, sedang asik bercumbu.
“Kak!, itu dia…Mama dan Papaku!” seru si anak mungil. Si bocah memandang wajah
mereka.
“Hah…mereka…mereka…orangtuaku!?, jadi si anak ini adalah…adikku!” si bocah
terkejut campur benci dan murka melihat orangtuanya melakukan perbuatan itu lagi.
Perbuatan yang pada akhirnya tega merenggut nyawa dia dan adiknya. Si bocah tak
kuasa menghalangi perbuatan bejat orangtuanya. Si anak mungil memanggil-manggil
orangtuanya, tapi tidak ada sahutan, dia hanya mendengar rintihan dan desahan. Merasa
muak pada orangtuanya, si bocah memegang tangan si anak mungil pergi meninggalkan
orangtua mereka.
“Jangan pedulikan mereka, mereka tidak akan mendengar kita. Mereka memang kejam,
tidak berperikemanusiaan, tidak bertanggung-jawab. Kita tidak bisa berbuat apa-apa.
Biar Tuhan yang menghukum perbuatan mereka” seru si bocah marah.
“Kita akan pergi kemana, Kak?” tanya si anak mungil.
Si bocah mengajak si anak mungil ke tengah-tengah lapangan yang sangat luas. Malam
ini, langit terlihat cerah, angin sepoi-sepoi berhembus menerpa tubuh mereka. Cahaya
kemilauan menembus langit menuju ke tengah-tengah lapangan di tempat mereka
berdiri.
“Kita akan pergi ke sana…di sana tempatnya indah, aman dan damai.”
“Dimana itu, Kak?”
Perlahan-lahan tubuh mereka terangkat ke atas. Mereka terlihat senang.
“SURGA!”

Cerpen "Si Bocah" Ver. English


A little boy went into a fast-food restaurant. He looked at the glass on the back of the restaurant, saw a child eating fried chicken with her parents.
"So delicious ... how happy if I like him, eating fried chicken crispy and delicious, yummy!" accidental saliva dripping from the mouth of the child. Then the boy entered the restaurant. He saw the people in the restaurant to order and pay with some money in front of a beautiful girl, a restaurant cashier. As a buyer, the boy tried to order food. "Miss, I ordered that one!" pointing to a picture package that he liked. But the minister did not care.
"Hik...hik...hik... why it does not matter to me, and I want to enjoy chicken crispy that Colonel Sanders" boy sobbed.
"Are you hungry, honey? want to eat? " asked a mother who was standing in front of the child.

"I want...I want, I'm starving, Mom!" boy replied excitedly as she wiped tears from her eyes.
"I want, Mom, I want to order it!" said a child who was standing behind him, pointing to a package of favorite images. The boy looked back, she thought her mother offers food, but the children who stood behind him. The face that had looked back wistfully cheery. The boy was carrying food ordered. The little boy slowly towards the table occupied by a child and trying to grab the chicken.
"Touch, I can not, let alone enjoy..." complained the boy.

With bowed sluggish, the boy's left foot restaurant. Not far from the restaurant there is the amusement park, a playground anakanak. Hearing the laughter of children playing, the boy went to that place. Children who are cool to play slide, swings, rocking horse, a car bomb, a mini train ride by them. âAsiknya can play like merekaâ | â thought the boy smiled at the children laughed with delight. Day wear. The sun began to sting the body. The boy saw an oncoming car. He tried to avoid a hit by a car.

âHeiâ | clay clay-dong kalo drive, how I hit reply! â upset the child. She saw the children with cheerful and joking in the car that reads SCHOOL BUS. The boy ran after the car and managed to menumpangi by standing behind him. Finally the car arrived at a place. âWuah, this place is crowded, lots of kids the same uniform, do well the name of this place? mmmâ | SCHOOL, I know, the school where he learned Khan, a teacher, no pupils. Wuah pleased they can go to school, have new books, new bags, new uniforms, everything was new, and can have many temanâ | while I? Â boys bowed sadly. Once again, liquid decorated glasses. Seeing the children who learn in the classroom, the child slowly place your left leg.

Along the way he wondered why life is not as good as the kids. Can eat together with their parents and loved ones in restaurants, amusement parks, and go to school so smart and have lots of friends. In the confusion, the boy unconscious on the road, crossing a red light. He saw the red light every car stopped. Then his eyes fixed on the children who raise their hands in every car that stopped it.
musty, ask for the money Sir, I have three more days makanâ | â begged a child who looked worn, tattered clothes. The boy felt sorry for him. It turned out that many children are charged with rags begging at every driver. There ngamen, strum request windshield chips, for the bite of rice. On a street corner to see a band of ragged children suck something.
what they âSedang?, sucking cans kecilâ | up to bed is made. Little has merokokâ | why parents do not prohibit yah? Â A car stopped at the corner. A beautiful woman with a microphone and a man with a camera to the kids. They are the people from the TV station.
Adika | elders may ask, why do you like nge-glue, sich? â reporter asked. I was more daring âBiar Ajaa | kalo nge-glue kagak embarrassed to ask for money to the people! â said one child's eyes looked faint sipping cool little tin.
dear father!, until they did a bad thing that Khan could be harmful to their bodies, I do not know where their parents, why they are their children must make a living, they should have the right to a decent life, like the children before I saw, such as education, food, clothing, kesehatanâ | â said the boy angrily.
He thinks their parents are not responsible for their lives, leaving their children to live alone. âNasibku as merekaâ | own living, my parents do not care padakuâ | â âEntah where they are now, I'll mencarinyaâ | to demand my rights! â was getting dark. Boy running around the place where the parents are looking for. Boy through flood plain, where the last time she saw her parents.
âOrangtuaku toss me into this river. The last time I saw the old man looked worried and scared, but I'm still smiling, trying to calm them. For them smile is the last smile, when they threw me into this river. I no longer feel the warmth. My body shivered with cold, until finally Akua | â boy could not remember back that night. Tears trickled down her cheek. He was not only her parents are not responsible for themselves, but they also took his life right.
âHikâ | hikâ | hikâ | Mamaâ | Papaâ | do not leave Akua | â boys cry disturbing thoughts. Earth âSiapa child crying? â thought the boy to find the source of the sound. âHikâ | hikâ | hikâ | Mamaâ | Papaâ | I'm cold .. â kids crying again. OH, you rupanyaâ | why late-night streets alone? â asked the boy to a boy who now stood before him, crying, searching for something.
akak, you see Mom and dad, right? â asked the little boy. The boy was surprised. Young children can see it. AACB could see me, means he sudahâ | â thought the boy.
"brothers, the house where you were? then we were both looking for your parents, either! â boy tried to comfort the little boy. Then the little boy showed her house. aitu Kak, the house I was there! â cried the little boy pointed to a mound of earth that are still visible around the old shack âbaruâ. The little boy told me that he was the victim of abortion. His body was buried in the place. dear father, once a parent, you have the heart to do it for you! â said the boy with a high tone. Landscape child fell on a young couple sitting in front of the cabin's porch, cool to make out.
akak!, it diaâ | Mom and Dad! â cried the little boy. The boy looked at their faces. Ahaha | merekaâ | merekaâ | parent!?, So that children adalahâ | my sister! boys â surprised mixture of hatred and anger to see parents doing it again. Actions that ultimately claimed the lives of her and her sister. The boy was not able to prevent the unscrupulous actions of their parents. The boy was calling the parents, but there was no answer, he only heard the complaints and sighs. Feeling sick to her parents, the child was holding a small child's hand away from their parents.

"Don't their minds, they will not hear us. They are cruel, inhuman, not responsible. We can not do anything. Let God punish acts they" children shouted angrily. "We will go where, brother?" asked the little girl. Boys bring a child into the middle of a very broad field. Tonight, the sky looks bright, the wind blows hit their bodies. The light through the sky into the middle of the field where they stood. "We will go to there ... there is a beautiful place, safe and peaceful.
"Where is that, Brother?"
Slowly their bodies up into the air. They seemed happy.
"HEAVEN!"
0 komentar:

Posting Komentar

My Profile :

My Profile :

Total Pengunjung :

Followers