Cerpen "Si Bocah"

06.44
Seorang bocah berjalan menuju sebuah restoran cepat saji. Dia memandang di
balik kaca restoran itu, melihat seorang anak sedang menyantap ayam goreng bersama
orangtuanya.
“Wuah enaknya…betapa bahagianya seandainya aku seperti anak itu, makan ayam
goreng yang renyah dan nikmat, yummy!” tak sadar air liur menetes dari mulut bocah
itu. Lalu si bocah memasuki ruangan restoran itu. Dia melihat para pengunjung restoran
memesan dan membayar dengan sejumlah uang di depan seorang gadis cantik, kasir
restoran itu. Seperti layaknya pemesan, si bocah mencoba memesan makanan.
“Mba…saya memesan yang itu!” sambil menunjuk gambar paket yang dia sukai. Tapi
pelayan restoran tidak mempedulikannya.
“Hik…hik…hik…kenapa Mba itu tidak peduli padaku, padahal aku ingin sekali
menikmati renyahnya ayam Kolonel Sanders itu” si bocah menangis tersedu-sedu.
“Kamu lapar, sayang? mau makan?” tanya seorang Ibu yang berdiri di hadapan si
bocah.
“Mau…mau, aku lapar sekali, Bu!” jawab si bocah kegirangan sambil menyeka air
matanya.
“Mau Ma, aku ingin pesan yang itu!” ucap seorang anak yang berdiri di belakang si
bocah sambil menunjuk gambar paket kesukaannya. Si bocah menoleh ke belakang,
dikiranya si Ibu itu menawarkan makanan padanya, tapi pada anak yang berdiri di
belakangnya. Wajah yang tadinya terlihat riang kembali sendu. Anak itu membawa
makanan yang dipesannya. Si bocah perlahan-lahan menghampiri meja yang diduduki
oleh anak itu dan mencoba meraih ayam itu.
“Menyentuh saja aku tidak bisa, apalagi menikmatinya…” keluh si bocah.

Dengan tertunduk lesu, si bocah melangkahkan kakinya pergi meninggalkan
restoran itu. Tak jauh dari restoran itu terdapat taman hiburan, tempat bermain anakanak.
Mendengar tawa riang anak-anak yang sedang bermain, si bocah menghampiri
tempat itu. Anak-anak sedang asik bermain perosotan, ayunan, kuda-kudaan, bom-bom
car, kereta mini yang ditumpangi oleh mereka.
“Asiknya bisa bermain seperti mereka…” pikir si bocah tersenyum melihat anak-anak
tertawa riang.
Hari pun beranjak siang. Sinar matahari mulai menyengat tubuh. Si bocah melihat
sebuah mobil meluncur ke arahnya. Dia berusaha menghindar agar tidak tertabrak mobil
itu.
“Hei…liat-liat dong kalo nyetir, kalo aku tertabrak gimana!” si bocah kesal. Dia melihat
anak-anak penuh riang dan canda di dalam mobil yang bertuliskan BUS SEKOLAH. Si
bocah berlari mengejar mobil itu dan berhasil menumpangi dengan berdiri di
belakangnya. Akhirnya sampailah mobil itu di sebuah tempat.
“Wuah, ramai sekali tempat ini, banyak anak-anak berseragam sama, apa yah nama
tempat ini? mmm…SEKOLAH, aku tahu, sekolah khan tempatnya belajar, ada guru,
ada murid. Wuah senangnya yah mereka bisa sekolah, punya buku baru, tas baru,
seragam baru, semuanya serba baru, dan bisa punya banyak teman…sedangkan aku?” si
bocah tertunduk sedih. Lagi-lagi, kaca-kaca cair menghiasi matanya. Sambil
memandang anak-anak yang sedang belajar di ruang kelas, perlahan-lahan si bocah
melangkahkan kakinya pergi meninggalkan tempat itu.
Di sepanjang jalan dia berpikir kenapa kehidupannya tidak sebaik anak-anak itu.
Bisa makan bersama dengan orangtua dan orang yang dicintai di restoran, bermain di
taman hiburan, dan bersekolah agar pintar dan mempunyai banyak teman. Dalam
kekalutan, tak sadar si bocah berada di sepanjang jalan raya, perempatan lampu merah.
Dia melihat setiap lampu merah menyala mobil-mobil itu berhenti. Lalu pandangannya
tertuju pada anak-anak yang menengadahkan tangannya pada setiap mobil yang berhenti
itu.
“Pak, minta duit Pak, saya sudah tiga hari belum makan…” pinta seorang anak yang
tampangnya lusuh, bajunya compang-camping. Si bocah merasa iba melihatnya.
Ternyata banyak anak yang lusuh dengan baju compang-camping meminta-minta pada
setiap pengendara. Ada yang ngamen, mengetok-ngetok kaca mobil meminta uang
recehan, demi sesuap nasi. Di sudut jalan si bocah melihat gerombolan anak-anak
kumal sedang menghisap sesuatu.
“Sedang apa mereka?, menghisap kaleng kecil…sampai-sampai terlena dibuatnya.
Masih kecil sudah merokok…kenapa orangtuanya tidak melarang yah?”
Sebuah mobil berhenti di sudut jalan itu. Seorang wanita cantik dengan membawa
mikrofon dan seorang pria dengan membawa kamera menghampiri anak-anak itu.
Mereka orang-orang dari Stasiun TV.
“Dik…boleh kakak tanya, kenapa kalian suka nge-lem, sich?” tanya reporter itu.
“Biar saya lebih berani aja…kalo kagak nge-lem malu minta duit sama orang-orang!”
jawab salah seorang anak yang matanya terlihat sayup sedang asik menghirup kaleng
kecil.
“Yah ampun!, sampai begitu parahnya mereka melakukan itu, itu khan bisa berbahaya
bagi tubuh mereka, aku tidak habis pikir, kemana orangtua mereka, kenapa mereka
masih kecil sudah mencari nafkah sendiri, seharusnya mereka mendapatkan hak untuk
kehidupan yang layak, seperti anak-anak yang sebelumnya aku lihat, seperti pendidikan,
makanan, pakaian, kesehatan…” ucap si bocah kesal.

Dia berpikir orangtua mereka tidak bertanggung-jawab atas kehidupan mereka,
membiarkan anak-anaknya mencari nafkah sendiri.
“Nasibku seperti mereka…mencari nafkah sendiri, orangtuaku tidak peduli padaku…”
“Entah dimana mereka sekarang, aku akan mencarinya…untuk menuntut hakku!”
Hari pun mulai gelap. Si bocah berjalan mengelilingi suatu tempat mencari
dimana orangtuanya berada. Si bocah menelusuri bantaran sungai, dimana terakhir
kalinya dia melihat orangtuanya.
“Orangtuaku membuang aku ke sungai ini. Terakhir kali aku melihat orangtuaku terlihat
cemas dan ketakutan, tapi aku tetap tersenyum, berusaha menenangkan mereka. Bagi
mereka senyumanku itu adalah senyuman terakhir, kala mereka melempar aku ke sungai
ini. Aku tidak lagi merasakan kehangatan. Tubuhku menggigil kedinginan, sampai pada
akhirnya aku…” tak kuasa si bocah mengenang kembali kejadian malam itu. Air mata
menetes di pipinya. Dia merasa bukan saja orangtuanya tidak bertanggung-jawab atas
dirinya, tapi mereka juga merenggut hak hidupnya.
“Hik…hik…hik…Mama…Papa…jangan tinggalkan aku…” suara tangisan anak kecil
mengusik lamunan si bocah.
“Siapa gerangan anak yang menangis itu?” pikir si bocah mencari sumber suara.
“Hik…hik…hik…Mama…Papa…aku kedinginan..” tangis anak itu lagi.
“Oh, kamu rupanya…kenapa malam-malam jalan sendirian?” tanya si bocah pada anak
yang mungil yang sekarang berdiri di hadapannya sambil menangis mencari-cari
sesuatu.
“Kak, kakak lihat Mama dan Papaku, tidak?” tanya si anak mungil itu. Si bocah
tersontak kaget. Anak mungil itu bisa melihat dirinya.
“Dia bisa melihat aku, berarti dia sudah…” pikir si bocah.

“Dik, rumah kamu dimana? nanti kita sama-sama mencari orangtua kamu, yah!” si
bocah berusaha menenangkan si anak mungil itu. Lalu si anak mungil menunjukkan
rumahnya.
“Itu Kak, rumah aku di sana!” seru anak mungil itu sambil menunjuk sebuah gundukan
tanah yang masih terlihat “baru” di sekitar gubug tua. Si anak mungil menceritakan
bahwa dirinya adalah korban aborsi. Tubuhnya dikubur di tempat itu.
“Yah ampun, tega sekali orangtua kamu melakukan itu padamu!” ucap si bocah dengan
nada tinggi. Pandangan si anak mungil tertuju pada sepasang muda-mudi yang duduk di
teras depan gubug itu, sedang asik bercumbu.
“Kak!, itu dia…Mama dan Papaku!” seru si anak mungil. Si bocah memandang wajah
mereka.
“Hah…mereka…mereka…orangtuaku!?, jadi si anak ini adalah…adikku!” si bocah
terkejut campur benci dan murka melihat orangtuanya melakukan perbuatan itu lagi.
Perbuatan yang pada akhirnya tega merenggut nyawa dia dan adiknya. Si bocah tak
kuasa menghalangi perbuatan bejat orangtuanya. Si anak mungil memanggil-manggil
orangtuanya, tapi tidak ada sahutan, dia hanya mendengar rintihan dan desahan. Merasa
muak pada orangtuanya, si bocah memegang tangan si anak mungil pergi meninggalkan
orangtua mereka.
“Jangan pedulikan mereka, mereka tidak akan mendengar kita. Mereka memang kejam,
tidak berperikemanusiaan, tidak bertanggung-jawab. Kita tidak bisa berbuat apa-apa.
Biar Tuhan yang menghukum perbuatan mereka” seru si bocah marah.
“Kita akan pergi kemana, Kak?” tanya si anak mungil.
Si bocah mengajak si anak mungil ke tengah-tengah lapangan yang sangat luas. Malam
ini, langit terlihat cerah, angin sepoi-sepoi berhembus menerpa tubuh mereka. Cahaya
kemilauan menembus langit menuju ke tengah-tengah lapangan di tempat mereka
berdiri.
“Kita akan pergi ke sana…di sana tempatnya indah, aman dan damai.”
“Dimana itu, Kak?”
Perlahan-lahan tubuh mereka terangkat ke atas. Mereka terlihat senang.
“SURGA!”

Cerpen "Si Bocah" Ver. English


A little boy went into a fast-food restaurant. He looked at the glass on the back of the restaurant, saw a child eating fried chicken with her parents.
"So delicious ... how happy if I like him, eating fried chicken crispy and delicious, yummy!" accidental saliva dripping from the mouth of the child. Then the boy entered the restaurant. He saw the people in the restaurant to order and pay with some money in front of a beautiful girl, a restaurant cashier. As a buyer, the boy tried to order food. "Miss, I ordered that one!" pointing to a picture package that he liked. But the minister did not care.
"Hik...hik...hik... why it does not matter to me, and I want to enjoy chicken crispy that Colonel Sanders" boy sobbed.
"Are you hungry, honey? want to eat? " asked a mother who was standing in front of the child.

"I want...I want, I'm starving, Mom!" boy replied excitedly as she wiped tears from her eyes.
"I want, Mom, I want to order it!" said a child who was standing behind him, pointing to a package of favorite images. The boy looked back, she thought her mother offers food, but the children who stood behind him. The face that had looked back wistfully cheery. The boy was carrying food ordered. The little boy slowly towards the table occupied by a child and trying to grab the chicken.
"Touch, I can not, let alone enjoy..." complained the boy.

With bowed sluggish, the boy's left foot restaurant. Not far from the restaurant there is the amusement park, a playground anakanak. Hearing the laughter of children playing, the boy went to that place. Children who are cool to play slide, swings, rocking horse, a car bomb, a mini train ride by them. âAsiknya can play like merekaâ | â thought the boy smiled at the children laughed with delight. Day wear. The sun began to sting the body. The boy saw an oncoming car. He tried to avoid a hit by a car.

âHeiâ | clay clay-dong kalo drive, how I hit reply! â upset the child. She saw the children with cheerful and joking in the car that reads SCHOOL BUS. The boy ran after the car and managed to menumpangi by standing behind him. Finally the car arrived at a place. âWuah, this place is crowded, lots of kids the same uniform, do well the name of this place? mmmâ | SCHOOL, I know, the school where he learned Khan, a teacher, no pupils. Wuah pleased they can go to school, have new books, new bags, new uniforms, everything was new, and can have many temanâ | while I? Â boys bowed sadly. Once again, liquid decorated glasses. Seeing the children who learn in the classroom, the child slowly place your left leg.

Along the way he wondered why life is not as good as the kids. Can eat together with their parents and loved ones in restaurants, amusement parks, and go to school so smart and have lots of friends. In the confusion, the boy unconscious on the road, crossing a red light. He saw the red light every car stopped. Then his eyes fixed on the children who raise their hands in every car that stopped it.
musty, ask for the money Sir, I have three more days makanâ | â begged a child who looked worn, tattered clothes. The boy felt sorry for him. It turned out that many children are charged with rags begging at every driver. There ngamen, strum request windshield chips, for the bite of rice. On a street corner to see a band of ragged children suck something.
what they âSedang?, sucking cans kecilâ | up to bed is made. Little has merokokâ | why parents do not prohibit yah? Â A car stopped at the corner. A beautiful woman with a microphone and a man with a camera to the kids. They are the people from the TV station.
Adika | elders may ask, why do you like nge-glue, sich? â reporter asked. I was more daring âBiar Ajaa | kalo nge-glue kagak embarrassed to ask for money to the people! â said one child's eyes looked faint sipping cool little tin.
dear father!, until they did a bad thing that Khan could be harmful to their bodies, I do not know where their parents, why they are their children must make a living, they should have the right to a decent life, like the children before I saw, such as education, food, clothing, kesehatanâ | â said the boy angrily.
He thinks their parents are not responsible for their lives, leaving their children to live alone. âNasibku as merekaâ | own living, my parents do not care padakuâ | â âEntah where they are now, I'll mencarinyaâ | to demand my rights! â was getting dark. Boy running around the place where the parents are looking for. Boy through flood plain, where the last time she saw her parents.
âOrangtuaku toss me into this river. The last time I saw the old man looked worried and scared, but I'm still smiling, trying to calm them. For them smile is the last smile, when they threw me into this river. I no longer feel the warmth. My body shivered with cold, until finally Akua | â boy could not remember back that night. Tears trickled down her cheek. He was not only her parents are not responsible for themselves, but they also took his life right.
âHikâ | hikâ | hikâ | Mamaâ | Papaâ | do not leave Akua | â boys cry disturbing thoughts. Earth âSiapa child crying? â thought the boy to find the source of the sound. âHikâ | hikâ | hikâ | Mamaâ | Papaâ | I'm cold .. â kids crying again. OH, you rupanyaâ | why late-night streets alone? â asked the boy to a boy who now stood before him, crying, searching for something.
akak, you see Mom and dad, right? â asked the little boy. The boy was surprised. Young children can see it. AACB could see me, means he sudahâ | â thought the boy.
"brothers, the house where you were? then we were both looking for your parents, either! â boy tried to comfort the little boy. Then the little boy showed her house. aitu Kak, the house I was there! â cried the little boy pointed to a mound of earth that are still visible around the old shack âbaruâ. The little boy told me that he was the victim of abortion. His body was buried in the place. dear father, once a parent, you have the heart to do it for you! â said the boy with a high tone. Landscape child fell on a young couple sitting in front of the cabin's porch, cool to make out.
akak!, it diaâ | Mom and Dad! â cried the little boy. The boy looked at their faces. Ahaha | merekaâ | merekaâ | parent!?, So that children adalahâ | my sister! boys â surprised mixture of hatred and anger to see parents doing it again. Actions that ultimately claimed the lives of her and her sister. The boy was not able to prevent the unscrupulous actions of their parents. The boy was calling the parents, but there was no answer, he only heard the complaints and sighs. Feeling sick to her parents, the child was holding a small child's hand away from their parents.

"Don't their minds, they will not hear us. They are cruel, inhuman, not responsible. We can not do anything. Let God punish acts they" children shouted angrily. "We will go where, brother?" asked the little girl. Boys bring a child into the middle of a very broad field. Tonight, the sky looks bright, the wind blows hit their bodies. The light through the sky into the middle of the field where they stood. "We will go to there ... there is a beautiful place, safe and peaceful.
"Where is that, Brother?"
Slowly their bodies up into the air. They seemed happy.
"HEAVEN!"
Read On 0 komentar

Cerpen "Setan Berparas Rupawan"

06.44
Di pagi hari yang cerah, aku berjalan menelusuri gang sempit. Ada sebuah warung
kopi, duduk beberapa orang sedang menyimak berita pagi. Aku menghentikan
langkahku. Televisi hitam-putih yang kusam dimakan usia, menampilkan konflik
perang yang sangat memprihatinkan.
“Dalam rangka misi perdamaian…perdamaian versi siapa!” seru seorang Bapak paru
baya dengan nada tinggi. Di layar kaca itu, sebuah pesawat dengan indahnya meliukliuk
di angkasa. Dibalik keindahan itu ada sesuatu yang menakutkan, dilengkapi dengan
persenjataan super canggih, siap meluncur dan memborbardil sasarannya. Teknologi
bukan lagi untuk memakmurkan tapi menghancur-leburkan.
Lalu aku melangkahkan kaki meninggalkan warung itu. Pandanganku
menerawang jauh, sampai akhirnya tatapanku tertuju pada sebuah meja yang
menghamparkan koran dan majalah. Aku melihat judul pada halaman depan koran
harian ibukota, tertulis dengan huruf besar dan tebal, KORUPSI DI TUBUH PT.X.
Nasib para karyawan menjadi taruhan, karena perusahaannya akan tutup, bangkrut,
akibat korupsi yang dilakukan oleh oknum pimpinan yang tidak bertanggung-jawab.
Memang, para koruptor tidak mempunyai hati nurani, mereka hanya mementingkan diri
sendiri, tidak peduli pada kepentingan orang banyak. Kemudian aku menoleh ke koran
yang lainnya. Aku lihat photo orang yang sering muncul di layar kaca, ya…dia seorang
publik figur, aku lalu membaca artikel mengenai dirinya, aku tidak menyangka dia
tertangkap pihak berwajib karena kedapatan membawa dan mengkonsumsi
NARKOBA. Shabu-shabu, ganja, heroin, morfin, pil ekstasy, dan berbagai jenis obatobatan
terlarang lainnya, selalu muncul dan menjadi berita hangat di berbagai media
massa. Orang awam menyebutnya PIL SETAN.

Hari mulai beranjak siang, ku langkahkan lagi kakiku menuju sebuah terminal
yang penuh sesak dengan lautan manusia, dan kendaraan yang siap mengantarkan siapa
saja yang akan membawa mereka ke tempat tujuan. Lalu tatapanku tertuju pada sebuah
sudut di terminal itu. Sekumpulan orang sedang asik bermain kartu, dengan taruhan
lembaran uang rupiah. Riang gembira bercampur serius tampak di wajah mereka. Tapi
dibalik itu semua, di dalam hati mereka ingin saling menjatuhkan, hanya satu tujuan,
menang dari taruhan. Mereka tidak merasakan di ujung sana, sang istri dan anak yang
mengharapkan lembaran-lembaran yang berharga itu, untuk memenuhi kebutuhan hidup
mereka. Agar dapur tetap ngebul, ingin punya baju baru karena melihat anak lain
memakai baju baru atau sekedar untuk uang jajan. Bermain judi, menang dan menang
yang ada di dalam otak mereka.
Lelah aku berjalan, ku langkahkan kakiku menuju sebuah pohon yang rindang,
berteduh untuk melepaskan rasa letih dan lelah. Baru beberapa menit aku berbaring,
merasakan sejuknya suasana walaupun polusi udara ibukota menyelimuti.
“Toolong…copet…copet!” teriak seorang ibu di keramaian, membuatku tersontak
kaget. Dengan sigap aku berusaha berdiri dari istirahatku untuk melihat ada apa
gerangan yang terjadi. Aku melihat seorang ibu berusaha mengejar seseorang yang
mencuri dompetnya, tapi anehnya orang-orang sekitar tidak peduli akan hal itu, mereka
hanya terdiam menyaksikan kejadian yang ada di depannya, tidak ada yang bereaksi,
membantu sang ibu menangkap pencopet itu. Mungkin karena sang pencopet
mengacung-acungkan senjata tajam ke arah mereka, jadi mereka tidak berani berbuat
apa-apa. Kejadian itu begitu cepat, sang pencopetpun luput dari pandangan, berhasil
kabur. Sang ibu hanya meratapi nasibnya dengan menangis tersedu-sedu.

“Pak, kenapa orang-orang diam saja, tidak menangkap pencopet itu!” tanyaku kepada
seorang Bapak penjual minuman.
“Hal itu disini sudah biasa dik, sering terjadi kayak gitu, mulai dari pencurian sampai
pembunuhan, jadi kita tidak bisa berbuat apa-apa, kalo menolong malah kita nanti yang
kena, nyari aman saja deh…” ucap sang bapak.
“Seharusnya laporkan saja ke pihak keamanan setempat, agar segera ditindak-lanjuti,
Pak!” usulku.
“Harusnya begitu, bekerjasama dengan pihak keamanan untuk memberantas kejahatan,
tapi karena diancam akan dibunuh kalo lapor pihak keamanan, lebih baik diam, dik!”
keluh sang bapak.
Kalau hal ini dibiarkan berlarut-larut bisa banyak memakan korban. Kesadaran
dari masyarakat dan pihak keamanan sangatlah penting. Tapi aku sama seperti mereka,
dari kejadian tadi aku tidak kuasa berbuat apa-apa. Kakiku rasanya berat untuk
menolong ibu tadi menangkap pencopet itu. Seandainya aku menolong ibu itu, nyawaku
taruhannya. Bahkan kalau “maling teriak maling”, dimana sang pencopet menuduh aku
pencurinya, padahal aku menolong ibu itu, lebih berbahaya lagi, bisa-bisa aku bisa
dipukul ramai-ramai. Kecuali kalau aku superhero seperti Superman, Spiderman,
Batman, Daredevil yang siap membasmi kejahatan. Tapi aku bukan seperti mereka,
mereka hanya tokoh yang ada di dunia imajinasi, sedangkan aku seorang yang lemah,
tak berdaya, tak bernyali.
Aku kesal kepada mereka yang pengecut, tak punya nyali dan aku juga benci
kepada diriku sendiri karena aku juga salah satu bagian dari mereka. Sambil menenteng
sebungkus plastik minuman untuk melepas dahagaku dan sepotong roti yang harganya
lima ratus rupiah untuk menghilangkan rasa laparku, ku lanjutkan lagi perjalananku,
tanpa arah dan tujuan, terserah mau dibawa kemana tubuhku ini. Tak sadar diriku
berada di arena ngetrek para biker. Motor yang mereka tumpangi terlihat garang, keren,
dengan desain warna yang cerah, aku rasa mahal biaya modifikasinya. Entah kapan aku
bisa memiliki motor seperti itu, aku selalu mengimpikannya, motor yang keren, bisa
nampang di depan teman-teman, apalagi cewek-cewek, wah senangnya!.
“Greng…greng…” suara mesin motor menderung mengusik lamunanku. Para biker
siap-siap memacu motornya dengan kecepatan tinggi. Mereka unjuk nyali dan
ketangkasan, yang jelas-jelas nyawa taruhannya. Yang terpikir olehku terjadi juga,
ketika baru beberapa meter dari garis start, seorang pengendara dengan kecepatan tinggi
berusaha ingin melewati tikungan tajam. “Sreeeeeng….reeet…brakkk!!!” kecelakaan
tak terelakkan lagi, sang pengendara terpental dari motornya dan kepalanya membentur
trotoar yang sebelumnya tubuhnya terseret badan jalan beberapa meter. Aku dan orangorang
yang melihat aksi mereka segera berlari menghampiri pengendara itu untuk
melihat kondisinya. Apa yang terjadi! aku melihat pakaian sang pengendara terkoyak,
tubuhnya penuh luka, tapi yah ampun! kepalanya hancur, terbelah, sampai-sampai isi
kepalanya berhamburan. Kontan saja aku muntah. Es kelapa yang aku minum, roti yang
aku makan tadi terlontar keluar dari mulutku, terlihat masih utuh. Bagaimana dengan
kondisi motornya!, motor yang tadi terlihat keren, garang, dan mungkin paling bagus
dari motor yang lain, ringsek. Ku pandangi motor itu, sangat menyayangkan sekali.
Muak dengan kejadian itu, aku pergi meninggalkan tempat itu.
Hari pun mulai gelap, aku bergegas pulang. Sebelum pulang, aku ingin mengisi
perut dengan nasi goreng sebagai makan malamku. Sepanjang jalan menuju rumahku,
aku melihat di pinggir jalan terdapat warung remang-remang. Di warung itu berdiri
wanita-wanita yang terlihat cantik, menggoda siapa saja yang melewatinya. Orang-
orang mengenal mereka sebagai PSK – Pekerja Seks Komersil atau WTS – Wanita
Tuna Susila atau apalagi istilah yang lainnya, masa bodoh dengan itu.
“Mampir dulu dong, mas!”. Ajakan kayak gini pasti tidak asing lagi, sampai-sampai aku
ikut digodanya. Aku hanya jalan terus, tidak pedulikan mereka. Pikiranku hanya
memesan sebungkus nasi goreng dan pulang, TITIK!.
Akhirnya sampailah aku di rumah. Ku taruh bungkusan nasi goreng itu, dan
menuju kamar mandi. Lalu Aku mencuci tangan dan membasuh wajahku untuk
menghilangkan debu dan kotoran yang melekat. Ku pandangi wajahku di depan cermin,
memastikan wajahku sudah bersih. Aku terdiam di depan cermin, memikirkan kejadian
hari ini. Menyaksikan berita tentang perang yang membuat penderitaan dan
kesengsaraan, kasus korupsi yang terpampang di halaman depan koran harian ibukota
dimana nasib karyawan menjadi taruhan, publik figur, panutan yang terlibat narkoba,
manusia-manusia yang duduk bersama di meja judi, pencopet yang beraksi, aksi para
biker dengan taruhan nyawa, wanita-wanita cantik dengan gelar PSK-nya. Aku berpikir
bahwa sesuatu yang terlihat indah dan tampak menyilaukan ternyata buruk bagiku,
meskipun tidak semua yang indah itu buruk. Pesawat super canggih dilengkapi senjata
dengan liukan indahnya, koruptor yang awalnya bermuka manis, narkoba yang
membuat nge-fly pemakainya, uang untuk berjudi, aksi pencopet dengan gertakan
mengancam, motor yang bagus dan keren, dan wanita-wanita cantik yang menggoda,
justru malah menghancurkan, menjerumuskan. Itu semua akibat dari hawa nafsu, ego,
ketamakan, keserakahan yang tertanam kuat dalam hati dan pikiran manusia.
Seandainya ada alat untuk melihat apakah orang atau sesuatu itu baik atau buruk, seperti
kaca mata, cermin, mungkin aku bisa lebih berhati-hati dan menghindari hal-hal buruk
menimpaku. Setan sangat berperan dalam kehidupan manusia. Dia dapat merasuki hati
dan pikiran manusia untuk merusak kehidupan, sampai akhir jaman. Kebanyakan orang
menganggap setan itu seram dan menakutkan, tapi pada kenyataannya setan itu justru
bentuknya indah, rupawan dengan berbagai macam pola.
Ku pandangi cermin itu dengan tegas dan berpikir “Apakah aku adalah salah satu
bagian dari mereka “Setan Berparas Rupawan?”

Read On 0 komentar

Cerpen "Anggun"

06.44
Suatu hari, ada seorang gadis yang menelpon temannya, nyasar ke handphone
aku. “Mungkin kamu salah sambung” jawabku. Lalu dia memastikan bahwa nomor
yang dia tuju itu sesuai dengan nomor temannya.
“Maaf yach…Assalamu’alaikum” ucapnya, seraya meminta maaf kalau dia
salah memencet dua digit nomor temannya itu.
“Wa’alaikum salam…” jawabku membalas salamnya.
Aku kagum dibuatnya, karena kata-kata yang diucapkan gadis itu…tutur katanya
lembut, hingga aku berpikir “Cantikkah dia?”
Suatu ketika, aku ingin telpon ke WARTEL, karena pulsa hape-ku habis. KBU
penuh, aku menunggu. Ada salah seorang penelpon keluar dari bilik dan berkata pada
penunggu wartel, yang kebetulan teman si penelpon, bahwa barusan yang dia telpon
adalah seorang gadis cantik, padahal si penelpon tidak pernah bertemu dengan gadis itu,
sambil memberitahu nomor telpon tersebut. Aku kaget, telpon yang disebut si penelpon
itu sama dengan nomor hape gadis yang waktu itu nyasar ke hape-ku.
Aku penasaran ingin mengenal lebih dekat dengan gadis itu. Aku menelponnya,
berkenalan dengan gadis itu, ANGGUN namanya. Setiap saat, aku selalu kirim SMS
yang berisikan kata-kata mutiara, motivasi hidup, sering pula dia meminta masukan dan
bantuanku mencarikan informasi mengenai Ayat-ayat Suci Al-Qur’an yang akan atau
sudah dikaji bersama teman-temannya. Dengan senang hati aku membantunya, walau
aku belum pernah bertemu dengannya, atau dia sengaja ingin menguji seberapa besar
pengetahuanku tentang agama. Terkadang lewat SMS, aku membuat Anggun tertawa,
terhibur.
“Kecantikan akan lebih bernilai, penuh karisma, penuh pesona, bila dibalut dengan
KEBAIKAN HATI, KEINDAHAN UCAPAN DAN PERBUATAN.”
“CANTIK belum tentu ANGGUN, tapi ANGGUN pasti CANTIK”
Ini adalah dua dari beberapa SMS yang aku tujukan pada Anggun. Aku merasa, bahwa
Anggun adalah gadis yang baik, terhormat, shalihah. Seorang sosok muslimah yang
selalu dalam setiap penampilannya sehari-hari mengenakan penutup aurat, jilbab. Aku
menilai, seorang gadis yang mengenakan jilbab akan terlihat anggun, melebihi
pandangan dan penilaian apa yang disebut dengan istilah Inner Beauty – kecantikan di
dalam diri, hati dan Outer Beauty – kecantikan luar, fisik.
Di hari minggu pagi yang cerah, seperti biasa, aku bersepeda, berolahraga
mengitari taman. Sedang asyiknya bersepeda, aku melihat seorang nenek ingin
menyeberang jalan. Tak jauh dari situ, aku melihat sebuah mobil meluncur dari arah
kanan melintasi taman.
“Astagfirullah, nenek itu pasti tidak melihat?!” pikirku cemas, takut terjadi apa-apa
yang menimpa nenek itu. Takut nenek itu tertabrak mobil, aku segera mendekati nenek
itu, dan membantunya menyeberang.
“Terima kasih ya, nak…” ucap sang nenek.
Aku membantu menuntun nenek itu menuju bangku taman. Sang nenek mengajakku
bicara, ia menceritakan tentang gadis yang membantunya menyeberang minggu lalu.
Persis seperti apa yang aku lakukan tadi.
“Boleh saya tahu, nama gadis itu, Bu?” tanyaku penasaran.
“Kalau tidak salah, Anggun…ya, Anggun namanya”
Aku kaget, saat sang nenek menyebutkan nama si gadis itu, Anggun. Tak asing bagiku
nama itu. Hatiku bertanya, apakah dia, Anggun yang ingin aku kenal lebih jauh, apakah
dia orang yang sama. Semoga.
“Walaupun ibu tidak bisa melihat jelas wajahnya, ibu dapat merasakan bahwa dia gadis
yang baik, santun, lembut, terdengar jelas dari tutur katanya yang lembut” ucap sang
nenek menjelaskan kepribadian Anggun. Ya, aku setuju nek!, persis dugaanku tentang
karakter Anggun yang aku kenal, bisikku.
Saat itu, aku melihat seorang gadis melintasi taman. Dia memandang kami yang sedang
duduk di bangku taman. Aku balas memandangnya. Kami saling berpandangan, sampai
akhirnya dia jauh dari pandanganku.
“Apakah dia orangnya?” bisikku dalam hati.
Malam harinya, aku menelpon Anggun. Aku menceritakan padanya tentang
nenek yang aku temui tadi pagi. Aku ingin memastikan bahwa gadis yang diceritakan
nenek itu adalah Anggun yang ditelponku saat ini.
“Apakah benar, minggu lalu kamu bertemu dengan seorang nenek, dan membantunya
menyeberang?”
“Apakah benar Anggun yang dimaksud nenek itu, kamu?”
“Aku yakin itu pasti kamu, iya khan?”
Berjuta-juta pertanyaan yang aku ajukan, untuk menghilangkan rasa penasaranku.
Hingga sampai-sampai Anggun menahan untuk menjawab pertanyaanku satu-persatu.
“Kalau gadis yang nenek ceritakan itu bukan aku, gimana Mir?”
“Aku…aku hanya ingin memastikan saja kalau itu memang benar-benar kamu, aku
minta maaf jika dugaanku salah”
“Kalau dugaan kamu benar, gimana?”
“Benar? Maksud kamu?”
“Iya, kalau memang benar Anggun yang diceritakan nenek itu adalah…aku”
Mendengar hal itu, spontan aku mengungkapkan perasaanku, bahwa Aku mencintainya,
dan ingin segera bertemu dengannya. Anggun memberitahukan tentang dirinya, bahwa
dirinya tidak sesuai dengan apa yang dibayangkan olehku selama ini. Tapi aku tetap
bersikukuh mencintainya.

“Kamu tahu Mir, bahwa Rasulullah SAW, bersabda, untuk menentukan pilihan kekasih
atau pasangan hidup kita kelak bukan hanya kita melihat dari sisi kekayaannya,
keturunannya, kecantikan ataupun ketampanannya, tapi yang terbaik dan yang paling
penting dan utama adalah agamanya, yang akan menuntun kita untuk mencapai
kebahagian di dunia maupun di akhirat kelak…” jelasnya padaku yang membuat hatiku
terketuk untuk berpikir jernih sebelum memutuskan keinginanku.
“Terus terang, kita belum pernah bertemu walaupun hanya kenal lewat telepon, terasa
kita kenal begitu dekat, tapi kamu belum mengenal siapa aku, apakah sesuai dengan apa
yang kamu harapkan” tambahnya.
“Aku rasa cukup dengan tutur kata saja, aku bisa menilai karakter seseorang, bahwa
kamu gadis yang baik, itu dibenarkan juga oleh nenek itu” ucapku untuk
meyakinkannya.
“Kamu yakin, hanya dengan tutur kata, ucapan seseorang, kamu dapat menilai karakter
seseorang? Tanpa kamu mengenali siapa dirinya, keluarganya, statusnya?” tanyanya
lagi.
Pertanyaan itu membuatku sedikit ragu untuk menimbang kembali perasaanku. Tapi aku
tetap bersikukuh untuk mengungkapkan perasaanku padanya.
“Anggun, dalam kondisi apapun kamu, aku tetap mencintai kamu…maukah kamu jadi
kekasihku” ucapku mantap. Pembicaraan ditelepon hening sesaat, sampai akhirnya…
“Assalamu’alaikum…” salamnya untuk mengakhiri pembicaraan.
“Wa’alaikum salam…” jawabku membalas salamnya agak sedikit kaget sampai
terdengar dengingan ditelingaku suara telepon terputus.
Suatu hari, aku sedang duduk dibangku taman. Aku ingin sekali bertemu dengan
Anggun. Ketika itu, melintas dua orang pria, yang tak lain adalah si penelpon dan
penunggu WARTEL waktu itu. Dia bilang sama temannya, bahwa ia pernah janji
ketemuan dengan Anggun di taman, memastikan bahwa Anggun itu orangnya cantik
dan seksi. Ternyata, saat bertemu, tidak sesuai harapannya, bahwa Anggun orangnya
malah kebalikannya, tidak cantik. Mendengar hal itu, aku tidak patah semangat. Aku
sudah berjanji pada diriku sendiri.
Aku janji untuk bertemu dengan Anggun di taman. Dia sudah menungguku. Dari
kejauhan aku memandangnya. Dia mengenakan jilbab, sedang duduk sendirian. Mataku
selalu tertuju padanya. Ternyata benar apa yang dibilang cowok itu. Inilah Anggun yang
telah mengusik hatiku, tidak sesuai dengan apa yang aku bayangkan selama ini, wajah
yang cantik. Tapi hatiku sudah mantap, dalam kondisi apapun dirinya, aku akan tetap
mencintainya. Aku menghampiri, berkenalan kembali dan mengajaknya ngobrol.
Sebagai pertemuanku yang pertama kali, aku ingin mengajak Anggun makan malam di
sebuah restoran.
“Bolehkah aku mengajak seseorang, Mir?” tanyanya.
“Boleh saja, memangnya kenapa?”
“Kamu khan tahu, tidak baik bagi seorang gadis berdampingan dengan seorang pria
yang bukan muhrimnya, berdua…”
“Terus yang ketiganya setan, iya khan?!” .
Kami tertawa renyah. Dia tidak ingin berlama-lama di taman. Sesuai yang dia katakan,
larangan itu, karena kami hanya berdua di taman. Aku merasa heran kalau nada
suaranya berbeda dengan yang aku dengar selama ini. Mungkin saja lewat telepon, jadi
akan terasa berbeda dengan suara aslinya.
Malam harinya, aku bertemu Anggun di restoran. Aku datang lebih dulu, agar
aku dapat mempersiapkannya. Aku duduk di meja yang sudah dipesan olehku.
“Anggun, kamu ingin pesan apa? aku yang catat…tinggal sebut saja”. Dia tersenyum.
Lalu aku memberikan menu, dan mencatat pesanan yang dia sebutkan.

“Oh iya, katanya kamu ingin mengajak seseorang? Sekarang dia ada dimana?”
“Mmm…tunggu sebentar lagi yah, pasti dia datang kok”
Sambil menunggu pesanan tiba, “Anggun” memberikan secarik surat padaku. Lalu aku
membaca surat itu.




Aku menanyakan maksud dari isi surat ini pada “Anggun”. “Anggun”
menjelaskan bahwa dirinya bukanlah Anggun yang sebenarnya, dia adalah seorang
pesuruh/pembantu untuk menyamar sebagai Anggun. Lalu dia memberitahu bahwa
Anggun yang sebenarnya sedang menunggu di meja yang lain, di sudut restoran. Wanita
itu menunjuk ke arah seorang gadis yang sedang duduk sendirian. Aku memandangnya
dengan tegas. Dia tersenyum padaku. Kami saling berpandangan. “Ternyata dia
memang, CANTIK, ANGGUN, seanggun namanya…”
Read On 1 komentar

Cerpen "Cinta Sang Bintang"

06.43
“Jumpa fans!” seru Tamara senang mendengar informasi dari Angela.
“Iya, jumpa fans para pemain sinetron Semanis Senyummu!” ucap Angela meyakinkan.
Jumpa fans akan di adakan pada hari Minggu siang di Lover Plaza – Semarang.
“Wah, kita bakalan ketemu sama Angga dong!” seru Tamara lagi.
“Aku ngefans berat loch sama dia!” tambahnya.
Angga adalah aktor utama di sinetron itu. Tamara dan Angela sangat menyukai sinetron
ini. Mereka tak pernah absen menontonnya.
Hari Minggu di Lover Plaza – Semarang…
Satu jam lamanya para penggemar menunggu dengan setianya. Mereka rela menunggu
hanya untuk melihat bintang idolanya. Begitu pula dengan Tamara sudah menyiapkan
poster yang bergambar Angga, aktor idolanya.
Penantian mereka berakhir ketika sebuah bus meluncur menuju Plaza dan berhenti di
depan Plaza tersebut. Para aktor dan aktris turun dari bus itu dan mendapatkan
pengawalan sangat ketat. Para penggemar lalu menghampiri bintang pujaan mereka.
Mereka berteriak histeris, ingin minta tanda-tangan, mengambil gambar, photo,
membentangkan poster. Sambil tersenyum, Tamara membentangkan poster itu.
“Angga, I love you…” seru Tamara yang pandangannya hanya terfokus pada Angga.
Ucapan itu terngiang-ngiang di telinga Angga. Angga mencari tahu siapakah gerangan
yang berteriak itu. Angela berusaha untuk menarik perhatian Angga dengan melambailambaikan
tangannya. Dari sekian banyak penggemar yang bersorak membentangkan
poster, tatapan Angga hanya tertuju pada satu orang, yang tersenyum manis padanya
seraya membentangkan poster gambar wajahnya. Angga ingin membalasnya dengan
senyuman tapi biasa kebanyakan bintang top itu jaim alias jaga image.
“Eh, Angel, kamu liat gak, dia tadi memandang aku…wah senangnya!” rona merah
menghiasi pipi Tamara.
Pengawalan sangat ketat sampai para bintang naik ke atas panggung. Arena di sekitar
panggung penuh sesak dengan para penggemar dan pengunjung plaza. Mereka berteriak
histeris ketika para bintang menyapa mereka.
“Hayoo, siapa yang ingin bertanya pada bintang idola kalian?” tanya presenter pada
para penonton yang spontan mengacungkan tangannya.
“Angga udah punya pacar belum?” tanya Angela yang kala itu presenter memberikan
microfon padanya.
“Kalo gitu kita tanya langsung sama Angganya…” ucap presenter kemudian
menyerahkan microfon pada Angga. Angga tersenyum mendengar pertanyaan itu.
“Terus terang…aku belum punya pacar” jawab Angga.
“Ternyata Angga belum punya pacar loch, kalian pasti tau dong acara Katakan Cinta di
RCTI, dia ini bisa dibilang high quality jomblo, jadi bagi para cewek yang mo daftar
jadi pacarnya silahkan aja…wooo maunya!” canda presenter.
“Ada lagi yang mau bertanya?” tanya presenter lagi.
“Denger-denger Angga dan Tya digosipin yang namanya cinlok alias cinta lokasi, bener
gak sich?” tanya seorang cowok yang rada feminim.
“Coba kita tanya aja sama Tya…gimana tuch Tya, katanya kamu dan Angga terlibat
cinta lokasi, apa betul?” tanya presenter pada Tya. Tya lalu melangkahkan kakinya
memegang erat tangan Angga dan menyandarkan wajahnya ke bahu Angga.
“Kalo iya memangnya kenapa…” canda Tya. Para penggemar khususnya cewek-cewek
terlihat jealous mendengar dan melihat Tya terlihat mesra dengan Angga.
“Ya enggaklah, itu semua gosip kok, pasti dech kalo deket sama Angga dibilang ada
apa-apanya. Emang sich, kadang aku suka jalan bareng sama dia, makan sama-sama,
sehabis syuting sambil ngebahas naskah skenario dan latihan sama-sama biar pada saat
syuting kita gak banyak ngelakuin kesalahan. Bagiku Angga teman yang baik, oke,
humoris, suka tepat waktu kalo datang ke lokasi syuting, lawan main yang profesional
en perfect dech pokoknya…” seru Tya.
“Wah, kalian cemburu yach…tapi jangan khawatir, mereka enggak terlibat cinta lokasi
kok, jadi masih ada kesempatan…oke sekarang ada kuis bagi kalian para cewek,
pertanyaan akan dibacakan oleh Angga, dan bagi yang bisa menjawab pertanyaannya
akan mendapatkan hadian voucher makan malam bersama Angga di restoran…” ucap
presenter yang disambut meriah oleh para penonton.
“Pertanyaannya adalah…Aku di sinetron Semanis Senyummu berperan sebagai siapa?”
tanya Angga. Spontan Tamara mengacungkan tangannya paling tinggi di antara
penonton yang lain. Angga lalu memanggil Tamara naik ke atas panggung untuk
menjawab pertanyaannya.
“Nama kamu siapa?” tanya Angga.
“Tamara!” jawab Tamara
“Jawabannya apa?” tanya Angga lagi.
“Andre…” ucap Tamara menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Angga. Senyuman
manis menghiasi pipinya. Angga merasakan pesona senyuman itu.
“Kamu betul…” seru Angga.
“Oke, jadi Tamara mendapatkan hadiah voucher makan malam bersama Angga…
selamat yach!” presenter menyerahkan voucher itu pada Tamara, disambut dengan
ucapan selamat dari Angga.
Tamara dan Angga janji ketemu di restoran yang telah di tentukan oleh panitia.
Sebelumnya Tamara berdandan dibantu oleh Angela.
“Wah, senangnya bisa dinner bareng sama bintang idola” ucap Angela sambil merias
wajah Tamara biar keliatan cantik.
“Selamat berkencan yach, Tuan Putri!” canda Angela.
Angga datang lebih dulu. Dia memastikan bahwa meja yang sudah dipesan tertata rapi
dengan sekuntum mawar dan candle light dinner agar terkesan romantis. Jam 19.00
mereka bertemu.
“Selamat malam, Nona Tamara” sapa Angga.
“Kamu terlihat cantik sekali…silahkan duduk” puji Angga lalu menggeser kursi dan
mempersilahkan Tamara duduk. Tamara terlihat senang sekali bintang pujaan hatinya,
yang diidolakannya sekarang ada dihadapannya, makan malam bersamanya, hanya
berdua. Mereka lalu memesan makanan.
“Oh iya, Tamara aku ingin tanya sesuatu sama kamu…sampai sejauh mana kamu
mengenal aku?” tanya Angga.
“Mengenal kamu…aku membaca dan melihat profile kamu di majalah remaja, sering
tampil di TV sebagai model iklan dan main sinetron, sampai-sampai aku punya poster
kamu, pin-up kamu, buku diary bergambar kamu, guntingan dari majalah, koran tentang
kamu, pokoknya segala sesuatu tentang kamu, aku sangat ngefans berat sama kamu…”
ucap Tamara tenang sambil tersenyum. Lagi-lagi pesona senyuman Tamara
menggetarkan hati Angga.
“Seandainya dia jadi lawan mainku di Semanis Senyummu, mungkin aku bisa
merasakan apa yang namanya cinta lokasi. Wajahnya yang cantik, matanya yang indah,
senyumannya yang manis. Yach ampun! apakah ini yang namanya cinta?, cinta lokasi
bukan sama lawan main di sinetron tapi sama penggemarku yang saat ini makan malam
bersamaku” bisik Angga dalam hatinya. Angga ingin mengenal Tamara lebih dekat. Dia
menanyakan aktifitas Tamara, sekolah, hobby, sampai mengenai hal yang pribadi,
kekasih Tamara. Yang bikin hati Angga senang saat mengetahui Tamara belum punya
kekasih.
“Tamara, aku ingin memberi kamu surprise…tunggu yach.” Lalu Angga berdiri dan
menghampiri petugas karaoke.
Angga ingin menyanyikan lagu If Tomorrow Never Comes – Ronan Keating, khusus
untuk Tamara. Tamara senang sekali mendengarnya.
Diakhir kencan, Angga memberikan kenang-kenangan kepada Tamara, begitu pula
dengan Tamara memberikan hadiah kecil dan berpesan agar Angga tidak melupakan
Tamara.
“Makasih yach Angga, mudah-mudahan malam ini menjadi kenangan yang berkesan
yang tidak akan pernah aku lupakan” ucap Tamara sambil memeluk Angga. Seorang
fotografer mengambil gambar mereka berdua sebagai kenang-kenangan.
Keesokan harinya di sekolah…
“Gimana kencannya tadi malam, Tuan Putri?” tanya Angela.
“Nice en wonderful…”
“Dengan sekuntum mawar dan candle light dinner… romantis banget deh pokoknya…”
“Eh, kamu tau gak, Angga nyanyiin sebuah lagu buat aku…If Tomorrow Never Comes
nya – Ronan Keating, suaranya oke banget. Sambil nyanyi dia memandang dan
tersenyum terus padaku…”
“Udah gitu, selesai dinner Angga kasih aku kenang-kenangan…photo dengan tandatangannya,
miniatur gitar dengan jam yang terletak di tengah-tengah gitar dan nama
Angga terukir di belakang gitar itu, serta souvenir dari panitia” terang Tamara
mengenang kembali peristiwa tadi malam.
“Wah, senangnya…” Angela hanya membayangkan dan merasakan betapa senangnya
kencan bersama bintang idola.
Saat liburan sekolah tiba…
Angga ingin menghabiskan waktunya selama seminggu, mengunjungi kakek-neneknya
di Bandung. Dengan mengendarai mobil sedan, hasil jerih payahnya selama ini, sambil
mendengarkan musik favoritnya. Akhirnya sampailah dia di rumah kakek-neneknya.
“Hai, Angga apa khabar?” sapa pamannya Angga.
“Eh, Paman, baik-baik aja…” sahut Angga. Paman Angga ingin membantu Angga
membawa oleh-oleh, tapi Angga menolaknya. Dia ingin membawanya sendiri.
“Abah, Emak…tebak siapa ini yang datang, bintang film kita!” seru pamannya Angga.
“Angga…kamu Angga khan, makin ganteng aja kamu, Ga!” ucap neneknya memuji.
“Siapa dulu dong, kakeknya!” seru kakeknya. Lalu Angga memberikan oleh-oleh yang
dibawanya pada kakeknya.
“Angga, kamu kenal tidak sama mereka ini?” tanya neneknya sambil menunjuk ke arah
sepasang suami-isteri dan seorang anak kecil yang sedang duduk. Angga
memperhatikan mereka satu-persatu, lalu Angga menggelengkan kepala, tidak
mengenal, karena baru pertama kali Angga melihat mereka.
“Kamu tidak kenal…ini adik bungsu Nenek, Embah Amy…suaminya namanya Embah
Martin, mereka dari Semarang” jelas neneknya.
“Jadi Angga panggil Embah!” seru Paman Angga sambil tertawa.
“…dan yang kecil ini namanya Agung, anak bungsu Embah Amy dan Embah Martin.
Makanya, mengenal silsilah keluarga itu penting, Ga!” tambah pamannya.
“Kamu anaknya Arifin khan?” tanya Embah Amy.
“Iya…Embah.” Pandangan Angga hanya tertuju pada Agung.
“Jadi bocah kecil ini…pamanku, om kecil” bisiknya dalam hati heran.
“Ma, Kakak Angga ini khan yang sering muncul di TV itu loch…Kak Tamara suka
sekali sama dia” tanya Agung meyakinkan mamanya.
“Kamu khan pemeran utama di sinetron Semanis Senyummu itu…Tamara suka banget
loch sama kamu, sampai-sampai di kamarnya banyak sekali gambar kamu” seru Embah
Amy.
“Tamara….?”
“Iya, masak sich kamu tidak kenal sama Tamara. Bukannya kamu pernah makan malam
sama Tamara. Tamara pernah cerita sama saya bahwa dia dapat hadiah voucher makan
malam bersama kamu” ucap Embah Amy menjelaskan.
“Yah ampun, jadi Tamara…tanteku!” pikir Angga terkejut mendengar hal ini.

Agung masuk ke dalam kamar dan menarik tangan Tamara yang kala itu sedang
mendengarkan musik.
“Kak Tamara, Angga, bintang idola Kakak datang!” seru Agung.
“Ah becanda kamu…”
“Benar Kak, gak percaya liat aja di depan!”
Lalu Agung dan Tamara berlari menuju ke ruang tamu. Tamara memastikan apakah
yang dikatakan oleh Agung itu benar.
“Angga…yah ampun, kapan datang?” spontan Tamara memeluk Angga yang kala itu
masih dalam kekalutan, yang dihadapannya sekarang yang tidak lain dan tidak bukan
adalah tantenya, sang penggemar yang membuat Angga jatuh cinta padanya. Tamara
tidak menyadari hal itu. Orangtua Tamara membiarkan Tamara mencurahkan rasa
bahagianya kepada bintang idolanya itu. Nanti mamanya akan memberitahukan
mengenai jati diri Angga sebenarnya.
“Mama, Papa kenal khan sama Angga, yang berperan sebagai Andre di sinetron
Semanis Senyummu…ini loh orangnya!”
“Tamara, aku mau istirahat dulu yach…”
“Oke, tapi nanti kita ngobrol lagi yach, aku kangen banget sama kamu…kamu nginep
khan?”
“I…iya”
Lalu Angga melangkahkan kakinya ke kamar yang telah disediakan bagi tamu yang
ingin menginap. Pikirannya kalut, wajahnya tertunduk lesu mengingat apa yang
diucapkan Embah Amy tadi. Setelah Angga hilang dari pandangan, akhirnya Embah
Amy, mamanya Tamara menceritakan tentang Angga padanya. Tamara terkejut
mendengar hal itu. Baginya Angga bukan hanya seorang bintang idolanya, tapi
seseorang yang telah mengisi hatinya. Yach, Tamara sangat mencintai Angga. Rasa
cintanya pada Angga tidak diberitahukan kepada mamanya, juga yang lain. Hal itu
dirahasiakan olehnya.
Saat makan malam, Angga melihat Tamara hanya terdiam, tidak bicara sepatah katapun
padanya. Tak tampak kecerian di raut wajahnya, tidak seperti saat Tamara menyambut
Angga pertama kali dia datang. Apalagi saat makan malam bersama bintang dan
penggemar waktu itu, pesona senyuman yang menyentuh hati Angga, terasa mahal
baginya. Angga merasa perihal dirinya sudah diberitahukan oleh Embah Amy pada
Tamara.
“Gung, tolong ambilkan Kakak daging ayamnya dong!” pinta Tamara pada adiknya
yang saat itu duduk bersebelahan dengan Angga. Spontan Angga mengangkat wadah
yang berisi daging ayam dan memberikannya pada Tamara.
“Makasih…” Tamara tersenyum tipis, tapi Angga merasa senyuman itu hanya dibuatbuat,
senyuman tanpa makna dan sikap dingin dirasa. Hal itu tak luput dari penglihatan
Papa Tamara. Beliau merasa ada sesuatu yang terjadi di antara mereka berdua. Hal itu
akan ditanyakan pada Tamara setelah selesai makan.
“Tamara, ada yang ingin Papa tanyakan sama kamu, Papa harap kamu jawab dengan
jujur” ucap papanya sambil menghisap rokok.
“Mau tanya apa, Pa?”
“Apakah kamu menyukai Angga?” tanya papanya. Pertanyaan itu membuat Tamara
terkejut. Dia hanya tertunduk diam, tak mampu menjawab pertanyaan yang dilontarkan
papanya.
“Kok diam, Papa hanya ingin tahu perasaan kamu pada Angga. Papa heran aja saat
kamu menyambut kedatangan Angga, kamu kelihatan senang dan gembira sekali. Tapi
Papa perhatikan pada saat makan malam bersama, kalian diem-dieman kayak patung
gitu, Papa merasa ada sesuatu di antara kalian, kamu menyukai Angga. Papa juga
merasa Angga menyukai kamu. Apakah karena ucapan Mama kamu mengenai siapa
Angga sebenarnya, setelah kamu tahu, kamu jadi berubah sikap seperti ini. Angga
mungkin merasakan perubahan sikap kamu, jadi dia serba salah untuk bicara sama
kamu. Disatu sisi dia sudah tahu siapa kamu, disisi lain dia merasa kamu sudah
mengetahui siapa dia. Gini aja dech, Papa ingin kamu jawab “YA” atau “TIDAK”
simple khan?” ucap papanya mengusulkan. Tamara mendekati papanya dan
memeluknya.
“Iya Pa, Tamara suka sama Angga…dia…” ucap Tamara sambil menangis dipelukan
papanya, tak kuasa menahan perasaannya.
“Sudahlah sayang, Papa tahu perasaan kamu bahwa kamu menyukai Angga. Cinta itu
tak mudah diterka, tak mengenal siapa yang mencintai dan siapa yang dicintai. Sekarang
kamu sudah mengenal Angga, Papa harap kamu mencintai Angga sebagai cinta seorang
penggemar pada bintang pujaannya, tidak lebih dari itu. Dan Papa harap kamu bersikap
sewajarnya agar Angga tidak canggung bicara sama kamu. Kamu bisa kan, Tamara?”.
Papanya berusaha menenangkan hati putri kesayangannya. Tamara menganggukkan
kepala sambil menangis tersedu-sedu. Tak sengaja, diwaktu yang sama, Angga
mendengar pembicaraan mereka berdua. Mendengar bahwa Tamara juga mencintainya,
Angga merasa senang sekali. Tapi perasaan itu pupus lantaran mengetahui perihal
hubungan mereka.

Malam ini Angga tak dapat tidur. Mengenang kembali saat pertama kali bertemu
dengan Tamara. Wajahnya, matanya, senyumannya menggoda pikirannya. Baginya hal
itu kenangan yang sangat indah. Tak seorangpun dapat menggantikan posisi Tamara
dalam hatinya. Tapi Angga menyadari hal itu tak mungkin lagi, apalagi setelah
mengetahui Tamara masih kerabat dekatnya. Dia berusaha meyakinkan dirinya,
merubah perasaannya seperti layaknya cinta pada teman, kepada saudara, atau cinta
sang bintang kepada penggemarnya, seperti yang dikatakan Embah Martin pada
Tamara. Tak kuat menahan kantuk, akhirnya Angga tertidur pulas.
Keesokan harinya…
Di pagi hari yang cerah, Angga beranjak dari tempat tidur dan bergegas mandi. Setelah
mandi dan berpakaian, Angga melihat Tamara sedang duduk sendiri, sedang
memandang jauh kebun teh yang menghampar luas. Angga menghampirinya.
“Selamat pagi, Tamara!” sapa Angga.
“Pagi, eh kamu Angga…” sahut Tamara. Dengan spontan dia menyeka air matanya. Hal
itu tak luput dari penglihatan Angga. Matanya yang indah sebelumnya, saat ini terlihat
sendu. Ada sesuatu yang disembunyikan olehnya. Angga ingin mencari tahu. Angga
merasa pembicaraan Tamara dan papanya tadi malam masih membekas di hatinya.
“Oh iya Tamara…kamu sudah mengenal siapa aku khan…lucu yach, ternyata kita…
masih kerabat dekat.”
Tamara menatap wajah Angga. Tak sadar air matanya menetes, membasahi pipinya.
Angga melihat hal itu, Angga memalingkan pandangannya agar tak larut dalam
kesedihan yang dialami Tamara.

“Angga…aku…aku sangat mencintai kamu!.” Tamara memeluk Angga dengan erat.
Angga membiarkan Tamara menumpahkan kesedihan di bahunya. Lalu Angga
memandang wajah Tamara dan tersenyum padanya.
“Tamara, terus terang, aku…aku juga mencintai kamu…tapi ini tidak mungkin bagi
kita, karena kita masih…” tak kuasa mendengar ucapan Angga, Tamara menyentuh
bibir Angga dengan jarinya. Dia tidak ingin mendengar Angga meneruskan ucapannya,
karena bisa menyakitkan hatinya.
“Ya Tuhan, seandainya aku mati, aku ingin dilahirkan kembali ke dunia menjadi
orang lain. Kami saling mencintai. Satukanlah cinta kita di kehidupan yang akan
datang”
Read On 0 komentar

Cerpen "Cinta Tabulampot"

06.43
Minggu pagi, langit terlihat cerah. Jam 06.00, seperti biasanya Wulan menyiram tanaman. Di lahan 100 m2 ada banyak jenis tanaman di pekarangan rumahnya. Mulai dari beraneka-ragam bunga, tanaman buah sampai dengan tanaman apotik hidup (obat-obatan). Semerbak wangi bunga menghiasi suasana. Tanaman buah terutama buah mangga bergelayutan di setiap pucuk pohon, seakan-akan memperbolehkan siapa saja yang ingin mencicipinya. Begitu pula dengan tanaman apotik hidup, seperti mengkudu, sambiloto, makuto dewo, lidah buaya, dan tanaman apotik lainnya. Kadang ayah Wulan memetik buah mengkudu untuk ramuan sebagai obat darah tingginya, yang terlebih dahulu di blender halus menjadi juice mengkudu.
Saat itu melintas tukang tanaman yang menjual tanaman hias dan buah dengan menggunakan gerobak.
“Pohon…pohon, tanaman hias, tanaman buah!” teriak tukang tanaman. Mendengar teriakan tukang tanaman, Wulan beranjak dari aktifitasnya yang kala itu sedang menyiram bunga Adenium kesayangannya.
“Wah, ada tukang tanaman…pohon apalagi yach untuk melengkapi koleksiku?” pikir Wulan.
“Mmm, oh iya…buah jeruk, aku belum punya pohok jeruk, jeruk sunkist ada gak yach?” pikirnya lagi.
Akhirnya Wulan memanggil tukang tanaman itu dan berlari kecil menghampirinya.
“Pak, pohon jeruk sunkist ada gak?” Tanya Wulan.
“Wah…Nona beruntung sekali, kebetulan pohon jeruk sunkistnya ada satu,” seru tukang tanaman dengan segera mengambil pohon jeruk sunkist yang diapit oleh pohon jambu air dan palem, dan menunjukkan pohon itu pada Wulan.
“Ini Non, jeruk sunkistnya, ada buahnya lagi!” seru tukang tanaman sambil memperlihatkan sebuah jeruk sunkist yang bergelayutan di pucuknya. Melihat itu Wulan senang sekali.


“Berapa harganya, Pak?”
“Lima belas ribu, Non!”
“Ini Pak uangnya.”
Setelah memberi uang pada tukang tanaman, lalu Wulan mengambil pohon itu. Sebenarnya tukang tanaman ingin membantu mengangkat dan membawanya ke rumah Wulan, tapi Wulan menolak. Dia ingin menikmati bagaimana rasanya membawa pohon jeruk sunkist yang dibelinya, yang terlihat unik baginya, pohonnya pendek tapi sudah berbuah, meskipun hanya satu.
Baru melangkahkan kakinya beberapa meter, melintas di ujung jalan sebuah motor Vespa meluncur dengan kencang.
“Yah ampun, rem-nya blong…” seru Bagus yang panik karena rem motornya blong, sehingga laju motor tak dapat dikendalikan. Bagus berusaha mengendalikan motornya, menginjak pedal rem dengan sekuat tenaga, tapi usahanya sia-sia. Wulan tidak menyadari yang ada di depannya, begitu pula dengan Bagus.
“Sreet…reeeeet…braak!!!” motor Vespa Bagus menyerempet pohon jeruk sunkis yang dibawa Wulan dan terhempas dari tangannya. Sayap motor Vespa Bagus menyentuh aspal dan terseret beberapa meter, akhirnya laju motor terhenti ketika menyentuh trotoar dan dapat ditahan oleh kaki Bagus. Bagus tidak apa-apa, hanya motornya tergores akibat Vespanya terseret menyentuh aspal tadi. Sedangkan Wulan mengalami luka lecet di tangan kirinya. Akibat kejadian itu, batang pohon jeruk sunkisnya patah, tanah dari polybag berserakan, dan buah jeruknya hancur lepas dari tangkainya. Wulan memandangi dan meratapi pohon jeruk sunkist yang baru saja dibelinya. Dengan segera Bagus menyandarkan motornya dan berlari menghampiri Wulan.
“Kamu gak apa-apa?” Tanya Bagus.
“Maafkan aku yach…tadi…” ucap Bagus gugup.
Wulan berdiri dan menatap Bagus. Bibirnya bergetar tidak bisa berkata apa-apa, kaca-kaca cair bergumul, menghiasi matanya yang indah. Lalu Wulan meninggalkan Bagus menuju rumahnya.
“Kenapa dia sampe nangis gitu, jangan-jangan…” ucap Bagus pelan. Lalu Bagus mengambil pohon jeruk itu, dan memasukannya bersamaan dengan mengumpulkan serpihan tanah yang berserakan ke dalam polybag. Bagus mengurungkan niatnya untuk mengembalikan pohon jeruk itu pada Wulan, baginya tidak mungkin, setelah melihat cewek itu menangis karena kondisi pohon jeruknya.
Lalu Bagus meninggalkan tempat itu. Sambil membawa pohon jeruk sunkist itu, Bagus menuntun motor Vespanya menuju bengkel tak jauh dari situ.
“Mad…Somad, tolong nich betulin motor gue!” seru Bagus pada Somad temannya yang punya bengkel.
“Pan kemarin baru diservis, kenape lagi emangnye…” Tanya Somad.
“Tau tuch, tiba-tiba aja remnya blong…” ucap Bagus sewot.
“eit deh…pake blong segala, kaye sendal bolong aje…” canda Somad.
“Jaka Sembung makan tomat, gak nyambung, Somad!”
“B-L-O-N-G, blong! Emangnya motor gue kuntilanak apa…udah deh cepetan betulin, gue buru-buru nich!”
“Becande Gus, nyantai aje, buru-buru amat sich…emangnye mo kemana, mo kondangan…”
Bagus hanya duduk terdiam dengan memasang wajah penuh sewot, tidak mau menimpali ocehan temannya, si Somad. Somad denga cekatan mengambil peralatan bengkel untuk membetulkan rem motor Bagus. Dalam waktu lima menit, Somad dapat menyelesaikannya. Lalu motor Vespa itu diuji kelayakannya, remnya pakem apa tidak.
“Sip…Gus, sip…” seru Somad sambil mengacungkan jempolnya. Lalu Somad menyerahkan motor itu pada Bagus untuk dicobanya.
“Oke…” seru Bagus. Lalu Bagus menyandarkan motornya dan ngobrol dengan Somad.
“Mad, elu kenal gak sama cewek yang tinggal di rumah itu…”
“Nyang mane?”
“Itu..tuch yang rumahnya ber cat ijo,” ucap Bagus sambil menunjuk rumah itu.
“Oh, nyang entu, entu mah rumahnye si Wulan, cewek yang amat-sangat-lebih-paling cakep sekali, se-komplek ini…”
“Emangnye kenape, jangan-jangan elu naksir kali yee…”
“Ah engga, itu tadi…” ucap Bagus terbata-bata sambil menunjukkan pohon jeruk itu pada Somad.
“Nah loch, kenape ni puun ampe ancur gini…” Tanya Somad sambil memegang pohon jeruk itu. Bagus menceritakan kejadiaan tadi sambil mengusapkan keringat yang bercucuran di dahinya. Somad hanya geleng-geleng kepala.
“Yah ampun, Gus, anak muda sini pengen banget nyari perhatian ame tuch cewek, eh elu malah nyari masalah…ck..ck..ck,”
“Gue aje nich udah punya bini, naksir ame die…eh elu…ck..ck..ck,”
“Emang sich kalo gue perhatiin saban ari si Wulan manteng aje di halaman rumahnye apelagi ari Minggu, nyirem puun, kembang…rajin tuch cewek,”
“Gue sich kage heran kalo die nangis, ngeliat puunnye ancur gini…”
Bagus hanya terdiam mendengarkan kicauan si Somad, kadang dia mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Iya yach, gue baru tau kalo di komplek ini ada cewek cakep.”
“Nah elu sich kerjaannye ngebon mulu, puun elu pacarin, ampe kage tau cewek cakep disini…”
“Anak muda sini nich, suka nyari perhatian babenye si Wulan, ampe ngasih bibit puun mengkudu segala lagi, nah babenye sich nerime aje…bloon juga sich tuch bocah pade, emangnye mau macarin babenye…he…he…he…”
“Katenye sich biar dapetin anaknye, kudu deketin biangnye…he…he…he…”
“Kayaknye nich, elu cocok ame si Wulan, same-same demen ame puun…”
“Tadi dia nangis gitu, tapi kalo nangis tetep cakep kok…” Bagus memotong ocehan Somad.
“Nah elu khan tau, kalo nangis aje cakep apalagi senyum, demplon nyang pasti tuch cewek…caem banget gitu istilahnye!”
“Gus, pernah nich ye, waktu gue ngeliat Wulan senyum, bujug deh, kempotnye Gus, kempotnye, pengen banget gue cium pipinye, manis banget…”
“Entu tuch, kaye lagunye Bang Rhoma…Manisnya Madu Tak Semanis Senyummu…he…he…he…”
“Gare-gare entu ampir aje gue cerein bini gue, si Rogaye, tapi gue takut dosa!”
“Ya iyalah, Mad, masak gara-gara itu elu mau cerain bini luh, yang benar aja!” seru Bagus.
“Udah dech, sekarang elu buruan nyari puun kaye gini, gantiin…elu harus ber-tang-gung-ja-wab!” usul Somad.
“Iya deh, gue permisi dulu, jadi berapa nich ongkos betulin motor gue?!”
“Udeh deh ame elu gra-tis!”
“Thank’s yach…”


CERITANYA BERLANJUT...
Read On 0 komentar

Cerpen "Tata Salon"

06.42
Di sebuah Mal, Sabtu sore…
“Hei…. Bedul!”
“Idiiih….ngagetin aja deh, sebel” ucap seorang cowok dengan nada feminim.
“Kamu Abdul khan…dulu aku biasa manggil kamu Bedul”
“Panggil aku Tata, aku sudah ganti nama tau…..apalagi Bedul, ih…amit-amit!” seru
Tata dengan gaya khasnya. Dia memandang cowok itu perlahan tapi pasti.
“Indra!! ya ampun pangling aku, bo!”
“Makin cakep aja kamu, Dra”
“Nah kamu makin cantik aja…pake ganti nama segala lagi”
Mereka berdua teman sekelas sewaktu SMA. Pertemuan mereka “curahkan” di restoran
tak jauh dari mereka bertemu. Indra melanjutkan kuliah, sedangkan Tata “si Bedul”
tidak melanjutkan pendidikannya, dia bekerja di salon di samping restoran.
“Kamu lagi ngapain di sini, Dra!”
“Lagi nungguin si Melly, pacarku…biasa, mau ngajak nonton” sambil tengok kiri-kanan
memastikan pacarnya sudah nongol apa belum.
“Aku janjiannya di sini, di depan restoran”. Saat itu Melly melintas di depan restoran.
Dia terlihat kebingungan. Sesekali melihat jam tangannya.
“Eh…tuch dia si Melly. Sorry yah Dul…eih…Tata, aku pergi dulu. Kapan-kapan kita
ketemu lagi, oke!”
“Dagh……” lambai Tata masih dengan gaya khasnya.
“Siapa itu, Dra!” tanya Melly. Dia merasa risih dengan sikap cowok itu yang feminim.
“Dia…Tata, temen sekolahku dulu, Mel”
“Kirain……” Melly menyangka Indra ada affair dengan cowok itu. Mereka akhirnya
menuju bioskop, nonton film kesukaan mereka.
Ketika pertemuan berlangsung kembali…
“Dra…aku pengen banget punya salon sendiri, udah bete aku di sini…” keluh Tata
curhat sama Indra, saat Indra gunting rambut di salonnya.
“Bete…di sini udah enak lagi, Ta!”
“Kamu lihat tuch…mahluk di sini semua mirip sama kamu….” canda Indra sambil
tertawa.
“Sebel dech, ih!” gerutu Tata sambil mencekik leher Indra pelan. Indra berusaha
melepas tangan Tata dari lehernya karena kegelian. Indra memberi saran pada Tata
untuk mengumpulkan uangnya agar impiannya membuka salon sendiri terwujud.
“Dikit-dikit khan jadi bukit, Ta!” seru Indra menyemangati Tata.
Seusai mencukur rambut, Indra mengajak Tata lunch di restoran sebelah salon. Mereka
memesan makanan kesukaan masing-masing.
“Aku pengen tanya sesuatu….tapi aku takut kamu tersinggung” ucap Indra mengawali
pembicaraan.
“tanya apa?!, nyantai aja lagi…”
“Dari dulu aku pengen nanyain ini…” ucap Indra ragu-ragu. Tata menatap Indra serius
sambil mengedipkan matanya, menunggu pertanyaan yang dilontarkan oleh Indra.
“Sejak kapah sich kamu jadi….feminim begini?” tanya Indra sambil menirukan gaya
khas Tata. Mendengar pertanyaan itu Tata tersenyum tipis. Sambil mengunyah
makanannya, Tata menjelaskan perihal sikap feminimnya. Tata memiliki saudara
kembar cewek. Mereka dilahirkan pada waktu yang sama. Tata satu-satunya anak
cowok di keluarganya, kakak-adiknya cewek semua. Sejak kecil dia suka sekali
memakai lipstik dan gaun milik kakaknya. Dia juga lebih menyukai boneka
dibandingkan dengan mainan anak cowok, seperti mobil-mobilan. Mungkin itu yang
menyebabkan perubahan sikapnya menjadi feminim. Mendengar cerita itu, Indra
sampai-sampai tersedak, tertawa menahan geli. Lalu Tata mengalihkan pembicaraan
mereka. Tata menceritakan tentang pacarnya.
“Hah…..yang benar aja, pacar kamu seorang…co..co-wok!” lagi-lagi Indra tertawa
terbahak-bahak. Indra terbayang apa jadinya bila Tata kencan dengan pacarnya.
“Iya, namanya Yogi…” ucap Tata santai tak menghiraukan ledekan Indra.
“Eh…si Melly mana?” tanya Tata lagi-lagi mengalihkan pembicaraan.
“Ya ampun!, aku janjian sama dia sekarang, di depan mal…”. Indra melihat jam
tangannya memastikan. Dia takut Melly marah kalo-kalo menunggu lama.
“Udah, nanti gue yang bayar!” ucap Tata. Bergegas Indra pergi meninggalkan Tata
untuk menemui Melly. Setengah jam Melly menunggu di depan Mal. Melly meminta
Indra menemaninya ke toko kaset. Dengan menghela napas menahan emosi karena
saking sebelnya menunggu, Melly melihat Indra berlari menghampirinya. Tanpa basabasi
Melly dengan wajah tertunduk sewot langsung melangkah pergi meninggalkan
Indra. Indra tahu kalau Melly marah padanya. Indra berusaha mendekati dan meredakan
emosinya.
“Sori Mel, tadi aku…” ucap Indra meminta maaf, tapi Melly tak menghiraukan, dan
masuk ke Mal itu.
“Hello cantik, apa khabar?!” sambut Tata ketika mereka melintasi salon.
“Oh iya, Mel!, kenalin temen gue…”.
“Tata…gue udah kenal!” seru Melly sewot dan melangkahkan kakinya, pergi
meninggalkan mereka berdua menuju ke toko kaset.
“Sori Ta, sikap pacar gue, dia lagi marah karena sebel nungguin lama tadi…atau
mungkin dia jealous ama elo kali?!” canda Indra.
“Iya kali yah….bisa jadi!” ucap Tata mengiyakan.
Melly menoleh ke belakang melihat Indra dan Tata tertawa. Dia merasakan ada sesuatu
di balik hubungan mereka, hubungan lebih dari sekedar teman. Melly berniat akan
menyelidikinya.
Di toko kaset, Indra berusaha membantu mencarikan kaset yang ingin dibeli Melly.
Indra menemukan kaset itu. Dengan begitu bisa memupus rasa sebel Melly padanya.
Setelah membeli kaset, Melly dan Indra berniat untuk nonton film. Pada saat memasuki
gedung bioskop, mereka bertemu Tata dan pacarnya, Yogi sedang duduk santai. Tata
memperkenalkan Yogi pada Indra dan Melly.
“Mau nonton filem apa, Dra?” tanya Tata. Melly masih terlihat risih melihat Tata.
Apalagi tahu pacar Tata seorang cowok. Indra mengetahuinya.
“Studio 2, Just Married!”
Mereka berempat membeli karcis. Tempat duduk mereka bersebelahan.
INDRA, MELLY, YOGI, TATA.
Seusai menonton, mereka berpisah. Melly teringat sesuatu. Dia ingin membeli sebuah
Novel yang dipesan temannya. Lalu Melly dengan menarik tangan Indra menuju toko
buku. Setelah menemukan Novel yang dicari, Melly dan Indra menuju kasir. Pada saat
membuka tasnya untuk membayar ke kasir, Melly terlihat sibuk merogoh tas mencari
dompetnya.
“Yah ampun, dompet aku hilang, Dra!”. Melly masih sibuk memastikan keberadaan
dompetnya.
“Masa sih, mungkin tertinggal di bangku Studio…”
“Engga, tadi ada kok…”. Mengetahui dompet Melly tidak ada, Indra membayar Novel
yang dibeli Melly. Indra berusaha meredakan kepanikan yang dialami Melly dengan
mencari dompetnya di Studio 2. Indra menanyakan hal itu kepada penunggu Studio dan
bersama-sama mencari. Usai mencari, hasilnya nihil. Melly menangis tersedu, Indra
berusaha menenangkannya. “Jangan-jangan…dia?” pikir Indra menduga tertuju pada
Yogi, pacar Tata, karena dia tahu Yogi duduk di sebelah Melly.
Suatu hari…
Melly tak larut dalam kesedihannya. Dia masih berniat menyelidiki hubungan Indra
dengan Tata. Di mal Melly memergoki Indra dan Tata sedang asyik ngobrol. Melly
mengikuti di belakang mereka. Dengan gaya khas, Tata memegang, mencolek, dan
kadang merangkul Indra dengan mesra. Bagi Indra itu sudah biasa dan ngerti akan sikap
Tata. Dia sudah mengenalnya sejak sekolah dulu, asal tidak berlebihan saja. Tapi bagi
Melly, membuat dia cemburu dan sebel. Sayup-sayup Melly mendengar apa yang
dibicarakan mereka. “Gue mau putus…”, “Gue ingin mengungkapkan sesuatu…”, “Gue
suka sama…” ucap Tata terdengar sayup di telinga Melly. Tanpa terucap sepatah
katapun Melly berusaha mendekati Indra, dan menarik tangannya meninggalkan Tata
yang keheranan melihat sikap Melly.
“Ngapain sich kamu sama si…si…bencong itu!” seru Melly penuh sewot.
“Kenapa kamu Mel…kok kamu sewot gitu sich!” ucap Indra menenangkan Melly. Indra
menoleh ke arah Tata yang masih berdiri menunggu, memastikan Tata tidak mendengar
ucapan Melly. Dia tidak ingin Tata mendengarnya.
“Aku sebel kamu deket sama dia…”
“Iya, tapi…”
“Gue mau putus…gue ingin mengungkapkan sesuatu…gue suka sama…jangan-jangan
dia suka sama kamu atau sebaliknya…”
“Pokoknya sekarang kamu tinggal pilih antara aku atau mahluk aneh itu!”. Setelah
mengucapkan itu Melly meninggalkan Indra dengan pilihan yang tak terduga oleh Indra
sebelumnya. Indra tidak mungkin begitu saja memutuskan hubungan dengan Melly
walaupun sifat pacarnya yang cemburu dan gampang emosi, dia sangat mencintainya.
Begitu juga dengan Tata, bagi dia Tata adalah teman yang baik, walaupun aneh. Dua
pilihan yang sulit untuk ditentukan bagi Indra. Di ujung sana, Tata mengetahui dan
mengerti apa yang diucapkan Melly.
Di kamar Yogi…
Tata menemui Yogi di kamarnya. Yogi sedang asik bersolek karena mereka akan pergi
ke pesta pernikahan temannya. Saat Yogi ingin ke kamar mandi tak jauh dari kamarnya,
Tata melihat-lihat sekeliling kamar, pandangannya terhenti ketika dia melihat sebuah
dompet di atas meja rias. “Dompet…” pikir Tata. Dia tahu bahwa Yogi tidak pernah
memiliki dompet ini. Biasanya kalau Yogi mempunyai sesuatu yang baru, dia akan
memperlihatkan padanya. Apalagi dompet ini dompet cewek?. Lalu dia mengambil
dompet itu, bermaksud melihat isinya. Ternyata!.
“Hah…ini dompet si Melly, jangan-jangan…?”. Tata terkejut melihat Kartu Identitas
Melly yang ada didalamnya dan menduga Yogi telah mencurinya.
Saat Yogi keluar dari kamar mandi dan menuju kamarnya, Tata langsung mencerca
habis-habisan. “Heh…dompet siapa ini!, punya si Melly khan!, elo nyolong ya!, udah
dech ngaku aja!”. Yogi tak menyadarinya, hanya terdiam tanpa kata. Saat itu juga Tata
memutuskan hubungan dengan Yogi dan pergi menuju rumah Melly. Hujanpun turun,
tapi tidak memupuskan keinginan Tata untuk mengembalikan dompet Melly, begitu
pula sikap Melly waktu itu.
Akhirnya Tata menemukan alamat dari keterangan yang tertera pada kartu identitas
Melly. Awalnya Melly tidak ingin menemui Tata, tapi melihat Tata basah kuyup dan
memohon ada sesuatu yang penting ingin disampaikan, Melly mempersilahkan masuk.
“Mel, ini dompet elo khan?”. Tata memperlihatkan dompet itu pada Melly.
“Iya, kok ada sama kamu…” tanya Melly heran.
“Sori Mel, Yogi yang mencurinya…gue baru tau tadi, barusan ke rumahnya”
“Coba cek ada yang hilang gak, Mel?”. Melly memeriksa isi dompetnya, ternyata uang
seratus ribu rupiah raib. Tata menggantikan uang itu. Tapi Melly menolak. Tetap Tata
bersikukuh mengganti uang itu dan menyerahkan ke Melly. Disaat inilah Tata meminta
maaf atas sikapnya yang telah membuat hubungan Melly dan Indra renggang. Begitu
pula dengan Melly, dia meminta maaf atas sikapnya waktu itu. Melly tahu bahwa
hubungan Tata dan Indra hanya sebatas teman seharusnya tidak perlu cemburu.
“Makasih ya, Ta!”. Tata akhirnya pamit pulang.
Ditengah perjalanan, Tata dihadang oleh Yogi.
“Apa-apaan lu…minggir, gue gak mo liat muka elo lagi!” seru Tata sewot.
Tanpa basa-basi Yogi mengeluarkan sebilah pisau dan menghujamkannya ke arah tubuh
Tata. Tata tak dapat mengelak serangan yang mendadak itu, dia mengerang kesakitan.
Tusukan berkali-kali dihujamkan ke tubuhnya membuat darah segar keluar dan tewas
seketika. Melihat Tata tak bernyawa, Yogi segera meninggalkan tempat itu. Seorang
saksi mata melihat kejadian itu. Saat itu Indra melintas tempat itu dan melihat
kerubungan massa. Dia lalu melihat apa yang terjadi. Dia terkejut apa yang dilihatnya,
Tata berlumuran darah tak bernyawa.
“Pak, dia Tata Temanku!”.
“Siapa yang melakukan ini, pak?!”. Seorang saksi mata tadi menunjuk arah si pelaku
pergi. Dengan segera massa dan saksi mengejar pelaku. Setelah tertangkap, massa
memukulinya beramai-ramai, tapi untunglah polisi yang kebetulan sedang patroli segera
datang ke tempat kejadian dan mengamankan si pelaku. Indra hanya tertegun sedih,
Tata telah pergi untuk selama-lamanya.
“Mel…Tata meninggal” dengan wajah lusuh dan sedih mengabarkan hal itu pada Melly.
“Meninggal…ah gak mungkin, engga lama barusan dia kemari”. Indra tertunduk diam.
Melihat sikap Indra, Melly percaya apa yang dikatakan Indra. Tak tertahankan, air
matanya menetes membasahi pipinya.
Di rumah duka…
“Nak Indra, ini buku diary Tata, sebelum dia meninggal dia selalu berpesan sama ibu,
kalo terjadi apa-apa sama dia, buku diary ini adalah curahan hati Tata selama ini, untuk
diserahkan ke nak Indra”. Ibu Tata menyerahkan buku diary itu pada Indra.
“GUE INGIN PUTUS SAMA SI YOGI ABISNYA SEBEL BANGET, KALO ENGGA
DIKASIH DUIT DIA MARAH, GUE KHAN PENGEN PUNYA SALON”.
SEBEL…SEBEL…SEBEL!!!
“GUE INGIN SEKALI MENJADI SEORANG COWOK SEJATI SEPERTI INDRA
DAN MEMPUNYAI SEORANG CEWEK YANG CANTIK SEPERTI MELLY”.
MUNGKINKAH???
“GUE SUKA SAMA SI ANTON, PELAYAN RESTORAN,
ABISNYA IMUT BANGET SICH”
GIMANA YACH CARANYA NGEDEKETIN DIA???
Membaca isi diary itu Andre tak dapat menahan tangis, karena selama ini dia
menanggapinya main-main. Begitu pula dengan Melly, dia merasa bersalah atas
kesalahpahaman waktu itu, tak kuasa pula menahan air mata.
Tiga tahun kemudian…
Indra dan Melly akhirnya menikah. Melly ingin membuka usaha salon di samping
rumahnya. “Salonnya kita kasih nama apa ya, Dra?”
“TATA SALON”
Read On 0 komentar

Cerpen "Dibalik Senyummu"

06.42
“Hei!, kalo jalan jangan meleng dong!” seru Mira sewot karena bahu kanannya
tersenggol.
“Ups, Sorry!” ucap orang yang menyenggolnya. Sambil tersenyum melangkahkan
kakinya pergi menghiraukan Mira.
“Nyengir lagi, bukannya minta maaf…dasar bodoh!” ucap Mira ketus.
Mira baru pertama kali melihat orang itu. Dia terlihat agak tergesa-gesa. Orang itu
menanyakan sesuatu kepada salah seorang guru di depan ruang guru.
“Mungkin dia anak baru” bisiknya dalam hati.
Kegiatan belajar pun dimulai…
“Selamat pagi anak-anak!” sapa Pak Tatang.
“Pagi Pak Tatang!” sahut anak-anak serentak.
“Oh ya, sebelum pelajaran kita mulai, Bapak akan memperkenalkan pada kalian teman
baru pindahan dari Semarang, silahkan Nak….” Pak Tatang mempersilahkan anak itu
memperkenalkan dirinya.
“Selamat pagi teman-teman, nama saya Andre, saya dari Semarang…”
Andre terlihat gugup. Untuk menutupi rasa gugupnya, dia tersenyum. Ternyata
senyuman itu tak luput dari pandangan Mira. Tapi Mira masih terlihat sebel atas
kejadian tadi.
“Itu tadi cowok yang nyenggol gue..” ucapnya pelan.
Setelah Andre memperkenalkan diri, Pak Tatang mempersilahkannya duduk di bangku
depan, mengisi yang masih kosong. Andre duduk sendiri. Saat Pak Tatang menerangkan
pelajaran Matematika, biar tidak terlihat nervous dan bisa beradaptasi, Andre
memandang ke sekeliling ruangan kelas. Saat itu Andre memandang seorang cewek
tomboy (tapi cakep loch!) yang duduk di bangku tengah, dia tersenyum padanya.
“Ih, sebel…” pandang Mira sinis.
Satu setengah jam berlalu…
“Mira, coba kamu kerjakan latihan nomor satu…” panggil Pak Tatang.
“Iya, Pak…?!” sahut Mira ketus. Mira tidak menyukai pelajaran ini.
“Waduh, susah banget lagi…” bisiknya pelan. Mira melangkahkan kakinya menuju
papan tulis dan mengerjakan soal yang disuruh Pak Tatang. Tapi Mira terhenti di tengah
jalan.
“Kenapa Mira… kamu tidak bisa?” tanya Pak Tatang. Mira menghela napas,
menggelengkan kepala tanda tak bisa.
“Siapa di antara kalian yang dapat membantu Mira?” tanya Pak Tatang pada anak-anak.
“Saya Pak!” spontan Andre tunjuk tangan.
“Coba kamu Andre…Mira kamu tetap di situ, lihat Andre” segera Andre melangkah ke
depan mendekati Mira. Dengan cepat Andre dapat menyelesaikan soal itu.
“Coba kalian lihat, Andre dapat mengerjakan soalnya…dengan dua cara lagi. Bagus
Andre. Nah, untuk soal selanjutnya buat PR. Bapak harap kalian kerjakan dengan rumus
ini, karena soalnya tidak jauh berbeda dengan soal pertama. Jangan lupa dikumpulkan
minggu depan.” Mira dan Andre kembali ke bangkunya masing-masing.
Waktu Istirahat, di kantin sekolah…
“gape juga tuch cowok!” seru Santi teman sebangku Mira sambil menyantap siomay,
kesukaannya. Saat itu Andre sedang makan menyendiri di pojok kantin.
“Udah gape, cakep lagi” tambahnya.
“Huh…dia itu sok pahlawan” ketus Mira sinis.
“Dia tadi nolongin elo lagi, Mir. Daripada elo bengong di depan, di strap…tau sendiri
Pak Tatang galaknya minta ampun”.
“PR nanti gue mau ngerjain bareng sama dia ah…” sambil memandang Andre.
“Kalo gue mau ngerjain sendiri…gue juga bisa!”
“Yakin, elo bisa….” ledek Santi.
Mendengar itu Mira semakin sebel dan makanpun tidak berselera.
Bel pun berbunyi. Anak-anak masuk ke kelas untuk melanjutkan pelajaran.
Sepulang sekolah…
Santi mengajak Andre pulang bareng. Mira merasa tidak senang. Santi memohon,
akhirnya Mira menuruti juga. Mira jaga jarak, hanya mendengarkan Santi dan Andre
ngobrol.
“Aku duluan!” Mira menyeberang jalan. Disaat itu sebuah mobil dari arah kanan melaju
dengan kencang. Andre melihat mobil itu. Dengan sigap, Andre berlari memegang bahu
Mira yang saat itu tidak sadar akan bahaya yang dialaminya. Santi berteriak histeris.
Namun Andre dapat menyelematkan Mira, menghindar dari bahaya tersebut. Mobil itu
hanya jalan terus, tanpa menghiraukan mereka.
“Mira, kamu gak apa-apa?” tanya Santi khawatir. Wajah Mira pucat dan jantungnya
berdetak kencang atas kejadian yang dialaminya. Santi berusaha menenangkannya.
Setegar apapun seseorang, akan ada kelemahannya. Itu tampak dari raut wajah Mira.
Andre memegang bahu Mira, lalu memandangnya. Tak sepatah katapun terucap dari
bibirnya. Secercah air bening menghiasi mata Andre dan tersenyum pada Mira.
Senyuman itu, senyuman yang dilihat sebelumnya. Tapi…Mira merasakan lain.
Senyuman dingin dirasa. Wajah Andre tertunduk sejenak. Tak sempat Mira
mengucapkan terima kasih, Andre pergi meninggalkan mereka berdua.

Dirumah Mira…
“Kakak melamun yach…” tegur Angga, adik kesayangannya. Mira mengenang kejadian
tadi. Mira memandang adiknya dan mengelus rambutnya dengan lembut. Adiknya
tersenyum padanya. Mira tersontak kaget melihat senyuman adiknya. Senyuman itu,
sama seperti ketika Andre tersenyum kala itu.
“Kak, lihat dech! senyuman Angga mirip dia khan…” ucap adiknya sambil menunjuk
gambar tokoh pada komik yang dipegangnya.
“Siapa dia? So-ji-ro Se-ta….”. Mira menyimak kata-kata yang diucapkan tokoh itu.
(Sebenarnya Mira tidak menyukai komik anak-anak apalagi kalo ceritanya cengeng, gak
sesuai dengan karakternya yang tomboy. Tidak percaya! tanya saja sama si Mira. Tapi
komik ini pengecualian… ).
Keesokan harinya…
Tidak seperti biasanya Mira datang ke sekolah lebih awal. Saat masuk pintu gerbang
sekolah, Mira melihat Andre berjalan menuju ruang kelas.
“Dre….Andre, tunggu!” panggil Mira lalu menghampiri Andre. Andre menghentikan
langkahnya. Mira tepat dihadapannya.
“Mmm……” Mira gugup untuk mengawali pembicaraan.
“Kamu gak apa-apa kemarin… maaf baru sekarang menanyakannya” ucap Andre
lembut.
“Makasih yach, udah nyelamatin gue kemaren”.
Sejak itu mereka terlihat akrab. Santi merasa senang melihat perubahan sikap Mira pada
Andre. Tugas Pak Tatang mereka kerjakan bersama-sama.
Seminggu berlalu…
“Sendirian aja, Mir? Santi mana?” tanya Andre.
“Iya…dia gak masuk, katanya dia minta izin untuk ikut pemilihan model”
“Oh iya…Dre, ada yang ingin gue tanyain sama elo, tapi entar aja pulang sekolah”
tambahnya.
“Oke Mir, aku tunggu…” ucap Andre setengah penasaran.
Kedekatan mereka mulai terusik oleh anak-anak usil di sekolah.
“Heh, Don!, gue perhatiin kayaknya cewek elo, si Mira lengket banget ama anak
kampungan itu” seru Jimmy.
“Walaupun elo belon jadian ama si Mira” tambahnya meledek.
Doni menganggap Mira adalah ceweknya, meskipun Mira pernah menolaknya mentahmentah.
Tapi Doni emosi dan merasa tersaingi kalau ada orang lain mendekati Mira.
“Iya…elo liatin tuch mereka, mesra banget kayak di filem” seru Bondan memanasi
sambil menunjuk ke arah Mira dan Andre sedang makan di kantin.
“Gue harus beri pelajaran ama tuch anak!” seru Doni marah sambil mengepalkan
tangannya.
“Gimana kalo abis pulang sekolah!” usul Jimmy.
Doni menyiapkan pemukul bisbol untuk membuat perhitungan.
Perjalanan sepulang sekolah…
“Oh iya, kamu tadi mau tanya tentang apa sama aku…”
“Mmm…gue, eh…aku mau tanya sesuatu”. Mira terlihat gugup, karena selama ini
ucapan Andre selalu sopan dan lembut padanya. Andre tersenyum.
“Nyantai saja lagi, Mir”
“Ucapan itu mencerminkan karakter seseorang”
“Meskipun kamu tomboy, gue atau aku, elo atau kamu bagiku hal itu tidak masalah”
“Alangkah baiknya kalo kamu terlihat feminim…lebih cantik!”.
Mendengar kata-kata yang diucapkan Andre, hati Mira bergetar. Selama ini dia merasa
sikapnya yang tomboy, kadang angkuh menutupi sikap feminim layaknya cewek
“murni”.
“Bagimu apa sich artinya sebuah senyuman itu?” tanya Mira serius.
“Senyuman…senyuman itu membuat aku bisa menghadapi kesedihan, duka, ketakutan
dan kesengsaraan hidup…”
“Persis!, senyuman Sojiro Seta…..” ucap Mira pelan.
“Apa?” tanya Andre tidak mengerti ucapan Mira barusan.
“Sojiro Seta…arti senyuman kamu mirip sekali dengan apa yang diucapkannya. Apalagi
saat kamu menolong aku waktu itu…senyuman kamu…”
“Sojiro Seta, siapa dia?”
“Salah satu tokoh komik anak-anak, Samurai X…”
Mira mengambil komik dari dalam tasnya dan menunjukkannya pada Andre. Andre
membacanya serius sekali. Mira menanyakan perihal “senyuman” Andre itu, ada
sesuatu yang disembunyikannya, sebuah duka yang lama terpendam.
Lalu Andre menceritakannya. Diusia lima tahun, dia dan kedua orangtuanya ingin
menyeberang jalan, tanpa sadar tiba-tiba ada sebuah mobil dari arah kanan melaju
kencang. Kecelakaan itu tak terelakkan lagi. Kedua orangtua Andre tewas seketika. Tapi
untunglah Andre selamat dari kejadian itu, meskipun sempat dirawat di rumah sakit.
Atas kejadian itu, kerabat keluarganya setiap saat selalu menyalahkan dia. Tak tahan
akan tuduhan itu, Andre kabur dari rumah. Pada akhirnya ada orang yang mau
mengangkat Andre menjadi anaknya.
Mengenang itu semua, tak tertahankan air matanya menetes. Mira merangkulnya agar
Andre bisa menumpahkan kesedihan di bahunya.
“Aku tidak ingin kejadian itu terulang lagi sama kamu, Mir…”
“Sudahlah Dre, itu sudah berlalu, tabahkan hatimu. Sekarang, aku ingin melihat kamu
tersenyum, tersenyumlah…”
Andre mengusap air matanya dan tersenyum kembali. Tak lagi tampak kesedihan di
wajahnya. Dia teringat pesan ibunya Tersenyumlah, karena senyuman bisa memberikan
kebahagian pada orang lain, meskipun kita dilanda duka.
Ketika mereka sedang bicara, sebuah mobil melaju kencang ke arah Mira dan Andre.
Mobil yang dikendarai Doni berhenti tepat di depan mereka. Doni dan teman-temannya
turun dari mobilnya. Tanpa basa-basi Doni memukul Andre. Andre berusaha menepis
pukulan yang Doni hujamkan padanya.
“Apa-apain sich, Don!” seru Mira berusaha melerai. Tapi Bondan menahannya, Mira
meronta-ronta, tak kuasa karena dekapan Bondan begitu kuat. Andre tak berdaya ketika
Jimmy membantu Dony memukulnya. Andre jatuh tersungkur. Darah segar keluar dari
hidung dan mulutnya. Melihat itu, Mira menangis dan meminta Doni agar tidak
memukulinya lagi. Tapi Doni dan teman-temannya tidak menghiraukannya.
“Ambil pemukul bisbol, Jim!” pinta Doni penuh emosi.
Andre berusaha untuk bangkit. Dengan sekuat tenaga, Doni memukulinya dengan
pemukul bisbol bertubi-tubi ke tubuhnya. Saat pemukul bisbol mengena di kepalanya,
Andre jatuh tersungkur tak berdaya. Mira akhirnya lepas dari dekapan Bondan, segera
mendekati dan merangkul Andre. Andre tersenyum padanya, sampai pada akhirnya
Andre menghembuskan napasnya yang terakhir.
“Andre…tidaaaaaaak!!!” jerit Mira histeris. Melihat Andre tak bernyawa, Doni dan
teman-temannya melarikan diri. Mira berusaha mencari bantuan pada orang yang kala
itu melintas. Polisi datang ke tempat kejadian dan Mira dimintai keterangan atas
kejadian tersebut. Dalam tempo satu jam polisi dapat membekuk Doni dan temantemannya,
pemukul bisbol berlumuran darah sebagai barang bukti.
Keesokan harinya…
Mira mengenang kembali kejadian itu. Senyuman Andre kala itu, senyuman yang
terakhir baginya. Dengan tertunduk lesu, Mira melangkahkan kaki menuju ruang
kelasnya. Tak terasa Mira membentur sesuatu.
“Hei!, kalo jalan jangan meleng dong!” seru seorang cowok yang tersenggol bahunya.
Mira memandang wajah cowok itu dan tersenyum ke arahnya.
“Nyengir lagi, bukannya minta maaf…dasar bodoh!” seru cowok itu penuh sewot.
Akankah kisah terulang kembali….
Read On 0 komentar

Cerpen "Impian Jadi Bintang"

06.41
“Jadi bintang enak kali yah, terkenal, diidolakan banyak orang, apalagi sama cewekcewek,
wah…yang pasti senang banget. Yang jelas gue pasti punya gelar baru,
“Selebritis”. Tapi apa mungkin, sedangkan gue hanya seorang penjual koran, yang
setiap harinya hanya menjajakan koran.” ucap Robert pelan.
Saat merapikan koran, tabloid dan majalah yang akan dibawa Robert, dia terkesima
dengan cover depan tabloid GAUL.
“Jadi Bintang Itu Gampang…Nah ini dia yang gue cari-cari, Alamat TV, Production
House dan Agency, syarat-syaratnya apa aja yach?”
“Photo…Biodata…Photo sama Biodata?!”
Robert duduk bersandar di tembok rumahnya. Pikirannya menerawang jauh.
***
Photo dengan pose close-up, tampak samping dan seluruh badan serta biodata sudah dia
persiapkan dan dikirim ke semua alamat Production House. Tinggal tunggu panggilan
kasting.
***
“Selamat siang, bisa bicara dengan Robert?”
“Saya sendiri pak…”
“Kami dari Bagian Kasting Indosiar, kami akan mengadakan kasting besok jam 9
pagi…”
***
Keesokan harinya, dengan mengenakan kaos warna merah dan celana jeans, Robert
sudah bersiap-siap menuju Indosiar.
“Do’ain aye yah Mak, biar lolos casting!”
“Iye deh Bet, Emak do’ain semoga elu berhasil, jadi bintang terkenal kayak entu-tu, si
Ari Wibowo, Jeremy Thomas, Primus…” ucap emaknya.
“Emak pengen nasib elu berubah, jangan terus-terusan jadi penjual koran…mumpung
ada kesempatan”
“Terima kasih yah Mak atas dukungannya…”
***
Di tempat kasting, Indosiar…
“Saya ingin kamu akting saat kamu sedang marah, sedih dan senang…” pinta kru
pengkasting
“Bisa minta contoh naskahnya, Pak?” tanya Robert
“Saya ingin kamu bisa improvisasi…cari kata-kata yang menurut kamu pas dari ketiga
sikap itu”
Robert berpikir sejenak mencari kata-kata yang akan dilontarkannya.
“Hey, jangan sentuh pacar gue…kalo sampai elo sentuh, gue hajar luh!” seru Robert
dengan nada tinggi sampai-sampai kru pengkasting kaget dibuatnya.
“Jangan sentuh pacar gue, gue mohon…” ucap Robert dengan memasang muka sedih.
“Ha…ha…ha…Elo mau sentuh dia, sentuh aja lagi, lagian dia bukan pacar gue kok!”
ucap Robert sambil tertawa ngakak. Ulahnya ini membuat para kru dan calon pemain
yang melihat aksinya turut tertawa geli.
“Bagus…bagus…Robert. Hasil casting akan diberitahukan besok via telepon” ucap kru
pengkasting.
“Kenapa engga sekarang aja, Pak?” tanya Robert penasaran.
“Soalnya masih banyak calon pemain yang belum dikasting, kami ingin mencari
karakter yang benar-benar pas” terang kru pengkasting.
Dengan langkah penuh percaya diri, Robert meninggalkan lokasi itu.

***
“Tolong…tolong, copet!” teriak seorang cewek dari kejauhan. Robert terhentak kaget
mendengar teriakan itu. Dia mencari tahu siapa gerangan yang minta tolong.
“Tenang Nona, dimana copetnya?” tanya Robert pada cewek itu.
“Kamu? Maaf, kami sedang…” ucap cewek ingin menjelaskan sesuatu pada Robert.
“Oh, itu mereka…Hey, jangan lari luh!” seru Robert sambil mengejar para pencopet itu.
“Sini, kembaliin dompet itu!” seru Robert lantang. Para pencopet itu kelihatan bingung.
“Heh, siapa dia?”
“Gue kagak tau”
“Nah loch, kenapa dia ada disini…” bisik mereka.
Salah-satu pencopet itu memberikan kode pada seseorang yang ada di belakang mereka.
Orang itu menjawab dengan acungan jempol sebagai pertanda “Teruskan!”.
“Heh, siapa luh, mo jadi jagoan yah!” bentak si pencopet.
“Iya…eh, gue cuma mo elu-elu pada kembaliin dompet itu sama yang punya. Kalo
kagak…!”
“Kalo kagak, emangnya kenapa?!”
“Gue hajar elo pada!”
Terjadilah duel sengit antara Robert dengan para pencopet.
“Bag…big…bug…” bertubi-tubi serangan yang dilancarkan oleh Robert telak mengenai
tubuh para pencopet itu sampai mereka jatuh terjengkang.
“Engga sia-sia gue belajar Cimande ame Engkong gue…mo gue gibas lagi luh!”
“Ampun deh, Bang…kita nyerah”
“Dari tadi kek, masak gue harus keluarin jurus andalan gue…mana dompetnya!”
Lalu si pencopet menyerahkan dompet itu pada Robert.
“Cut!” seru seseorang yang tak jauh dari tempat itu yang tak lain dan tak bukan adalah
seorang sutradara. Sang sutradara dan cewek tadi menghampiri Robert.
“Ini Nona, dompet kamu” ucap Robert tak menyadari bahwa saat ini sedang ada di
lokasi shooting.
“Luar biasa…kalo boleh saya tahu siapa nama Anda?” tanya sang sutradara.
“Robert Sandiago…panggil aja Robert. Anda Bapaknya Nona ini?”
“Oh, bukan…saya sutradara. Kebetulan kami sedang shooting di sini, adegan seorang
cewek dicopet…untuk Sinetron Petarung Sejati.”
“Jadi…oh maaf…maafkan saya, kalo di sini ada shooting, sekali lagi saya minta maaf”
ucap Robert sambil nyengir melihat para pencopet yang dihajarnya tadi. Dia minta maaf
kepada mereka.
“Hebat…hebat, Anda ternyata punya bakat bela diri rupanya…” ucap seseorang yang
menyaksikan adegan tadi dari kejauhan.
“Oh iya Robert, perkenalkan ini Bapak Herly, Casting Director Indosiar…” ucap
sutradara memperkenalkan Bapak Herly pada Robert.
“Bukannya Bapak tadi ada di lokasi casting?” ucap Robert memastikan.
“Kamu betul, saya yang menilai para calon pemain. Saya rasa kamu punya bakat dan
bisa bergabung di sinetron ini…dan tidak tertutup kemungkinan, kamu bisa main di
sinetron laga yang lain…”
“Saya yang kepilih Pak…terima kasih, Pak!”
“Oh iya, sekedar informasi…sinetron ini seharusnya habis masa tayangnya yaitu
sebanyak 26 episode. Tapi karena banyak permintaan dari para pemirsa di seluruh
nusantara, jadi sinetron ini akan diperpanjang menjadi 100 episode, dan kamu akan
main sampai akhir…” jelas sutradara. Robert senang sekali mendengarnya.

“Robert, kamu sudah kenal khan Nona ini? Dia yang nanti yang akan jadi lawan main
kamu” tanya sutradara sambil menunjuk cewek itu.
“Hah…kamu khan Dian Sastro?!”
“Bukan…aku bukan Dian Sastro…namaku Dini Aminarti!”
“Dini, yang benar ah, abisnya mirip banget sich…he…he…he”
***
“Nah loch, dia malah nyengir lagi, bukannya jualan koran…ck…ck…ck” ucap Emak
sambil geleng-geleng kepala heran melihat Robert duduk melamun.
“Heh…Bet, Robert…elo malah ngelamun disini lagi…buruan sono jualan koran”
“Ah Emak, lagi enak-enak digangguin aja…” teguran Emak membuyarkan lamunannya.
“Elo pagi-pagi gini udah ngelamun, pake nyengir lagi…yang kagak-kagak aja kerjaan
luh, setiap hari kerjaannya menghayal terus…kemarin aja lagi nimba air, elo ngayalin si
Minah, sampe-sampe elo kecemplung sumur…”
“Ini lain lagi Mak, aye mo jadi Bintang Film, Sinetron…aye mo jadi orang terkenal!”
“Mimpi kali elo yee…tampang kaye elo aja mo jadi Bintang Film…Bet, Robert…”
“Malu dong Mak sama nama aye, Robert…masak kagak bisa sich jadi orang terkenal,
nich liat di Tabloid GAUL “Jadi Bintang Itu Gampang”, aye punya buku panduannya”
“Terserah apa kata elo aja deh, Bet…”
“Do’ain aja yah, Mak!”
“Iya…iya, biar semua korannya laku!”
“Bukan…bukan itu Mak, biar aye bener-bener jadi orang terkenal…he…he…he”
***
Di sudut lampu merah…
“Koran…koran, majalah, tabloid GAUL-nya, Non!” seru Robert dengan logat layaknya
penjual koran kebanyakan. Dia menawarkan tabloid GAUL kepada salah seorang
pengendara sedan.
“Nona mo jadi Bintang Film, Sinetron…ini Non! Ada alamat Production House, Stasiun
Teve, Agency, lengkap dengan tips-tipsnya.”
“Berapa harganya, Bang?”
“Kita khan ada di Jakarta nich, jadi cuma lima ribu rupiah aja, Non!…tapi kalo kita di
luar Pulau Jawa dan Bali harganya lima ribu lima ratus perak…” canda Robert.
“Nona khan cantik, saya yakin dech kalo Kamu pasti bisa jadi Bintang…” puji Robert.
“Boleh saya tanya Bang? Abang jangan marah yah…kok ganteng-ganteng jualan koran
sich? Kenapa abang engga coba aja ikutan casting?”
“Masa iya sich, Non?”
“Serius!”
“Tunggu dulu, kamu khan…Dian Sastro?”
“Kamu kenal sama saya?”
“Iya dong, masak bintang setenar dan secantik kamu, saya gak kenal. Boleh saya minta
tanda-tangannya?” pinta Robert sambil mengeluarkan pulpen dan kertas yang ada
dibalik sakunya. Dengan senang hati, Dian menorehkan tanda-tangannya.
“Pertimbangkan saran saya tadi yach, asal kamu yakin dan percaya diri…” ucap Dian
sambil menutup pembicaraan.
“Tuh khan, Emak engga percaya sich, Dian Sastro aja kasih dukungan. Pokoknya mulai
hari ini, saat ini dan detik ini juga, gue harus ngebuktiin bahwa gue bisa jadi Bintang…”
ucap Robert penuh antusias.
Read On 0 komentar

Cerpen "Motor Impian"

06.40
“Jangan menghayal kamu, Guh?” ucap Wawan kepada Teguh yang melihatnya sedang
melamun.
“Ini bukan khayalan, aku ingin buktikan bahwa aku bisa mewujudkan motor impian aku!”
ucap Teguh yakin, saat Teguh dan teman-temannya menyaksikan adu ngetrek para biker
di jalan. Pandangannya menerawang jauh, membayangkan motor impiannya. Teguh ingin
sekali memiliki motor sport.
Dia berusaha mengumpulkan uang untuk membeli motor itu. Pekerjaan apa saja dia
lakoni, kerja serabutan, asal menghasilkan uang. Disamping itu, Teguh juga merupakan
tulang punggung keluarganya, membiayai kebutuhan hidup dan sekolah kedua adiknya,
karena ayahnya telah meninggal satu tahun yang lalu.
“Bu, Sari pengen buku baru dan baju baru…khan udah ganti pelajaran baru” pinta Sari
kepada ibunya.
“Uang dari mana, Sari…sudah, kamu pakai saja dulu buku yang lama, khan masih ada
yang kosong…”
“Lagipula juga baju kamu yang lama masih bagus, masih layak pakai…” ucap Ibu Dian
kepada anaknya. Sari tersenyum miris. Dia menyadari bahwa ibunya tidak mampu untuk
membelikan keinginannya itu. Lalu Sari mencium tangan ibunya, berangkat ke sekolah.
Setelah Sari jauh dari pandangannya, tak kuasa air mata menetes di pipinya. Ibu Dian
merasa sudah kewajibannya untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Tapi uang dari hasil
usaha warung kecil-kecilan di depan rumahnya tidaklah cukup. Hal itu tidak luput dari
pandangan Teguh yang kala itu mendengar permintaan adiknya. Dia lalu melangkahkah
kaki menghampiri ibunya. Mengetahui Teguh mendekatinya, Ibu Dian menyeka air
matanya. Tapi hal itu tak luput dari pandangan Teguh.
“Bu, ini Teguh ada uang untuk membelikan Sari buku dan baju baru…ambillah, Bu” ucap
Teguh sambil menunjukkan sejumlah uang kepada ibunya.
“Jangan, Guh, kamu khan ingin beli motor…Ibu tidak ingin memakai uang kamu, biar Ibu
saja yang mencarikan nanti…” ucap ibunya menolak.
“Tidak apa-apa koq, Bu…lagi pula buku dia sudah habis, dan Teguh perhatikan bajunya
juga sudah kelihatan sobek dan kusam, jadi perlu diganti dengan yang baru, kemarin juga
Dito minta dibelikan tas baru…dan ini sekalian untuk biaya SPP bulan ini.”
Lalu Teguh memberikan uang kepada ibunya. Teguh tersenyum agar dapat memupuskan
kesedihan ibunya. Sebelum pergi bekerja, dia pamit kepada ibunya.
Pagi ini, bersama temannya, Teguh menjajakan koran dan majalah di sudut terminal.
Dia juga mempunyai pelanggan di perumahan-perumahan yang tak jauh dari tempat
tinggalnya. Dengan sepedanya, newspaperboy ini mendatangi para pelanggannya untuk
memberikan surat khabar sesuai pesanan.
Siang harinya, Teguh bersama teman-temannya ngamen sampai sore hari. Kadang
kalau ngamen lagi sepi, dia juga bekerja sebagai kuli bangunan atau bekerja sambilan di
bengkel temannya, servis plus modifikasi body motor. Teguh senang sekali memodifikasi
motor, apalagi motor sport. Walaupun motor itu bukan miliknya, dia melakukan modif
layaknya motor sendiri. Tak heran banyak para pelanggan yang datang padanya untuk
minta dimodifikasi motornya, karena kreasi Teguh tak kalah bagusnya dengan kreasi
orang yang sudah berpengalaman. Sedangkan malam harinya, dia bekerja sebagai pelayan
restoran.
Suatu hari, Teguh dan kedua temannya sedang mengamen di bus kota. Ada seorang
pencopet beraksi. Si pencopet merogoh tas seorang cewek cantik. Si cewek cantik itu
menyadari kalau tasnya digerayangi seseorang. Si pencopet berhasil mengambil
dompetnya dan berusaha kabur.
“Copet…copet…” teriak si cewek sambil mengejar si pencopet yang ingin kabur lewat
pintu belakang. Teriakan si cewek terdengar nyaring di telinga para penumpang dan awak
bus itu, terutama Teguh yang kala itu sedang melantunkan sebuah lagu. Dia menghentikan
nyanyinya dan berusaha mengejar si pencopet itu. Si pencopet meloncat dari bus yang
kala itu melaju kencang. Sopir bus menghentikan laju kendaraannya. Si cewek melompat
dari bus untuk mengejar pencopet itu, tapi sayang, kakinya terkilir, dia meringis kesakitan.
Teguh mendekati cewek itu.
“Kamu tidak apa-apa, Nona?”
“Teman-teman, kalian jaga cewek ini, aku yang kejar tuh pencopet!.”
Lalu Teguh mengejar pencopet itu yang berlari, masuk ke jembatan layang. Pada saat
menuruni tangga, si pencopet jatuh tersungkur karena tersandung tangga. Si pencopet
berdiri dan mengeluarkan sebilah pisau dari balik bajunya.
“Elo jangan mendekat, kalo mendekat, gue bunuh, lu!” seru si pencopet sambil
mengacung-acungkan pisaunya.
“Gue gak takut, cepet, serahin dompet itu…” seru Teguh tak gentar menghadapi ancaman
si pencopet. Tanpa pikir panjang si pencopet menghujamkan pisaunya ke tubuh Teguh,
tapi Teguh berhasil menepisnya. Dengan sigap dia menangkap tangan si pencopet dan
memelintirnya hingga pisau itu terlepas dari genggaman pencopet itu. Serangan dengan
lutut ala thai-boxing mendarat telak di ulu hati si pencopet, kontan si pencopet
terjengkang, meringis kesakitan.
“Heh…mana dompetnya, cepet serahin…kalo engga, gue gibas lu!” seru Teguh sambil
mengepal tangannya dan menarik baju si pencopet. Merasa takut, si pencopet
menyerahkan dompet itu pada Teguh. Setelah dompet di tangan, Teguh menghempaskan
tubuh si pencopet.
“Cepet elo pergi, gue muak liat tampang lu!” ancam Teguh. Si pencopet pergi dengan
langkah sempoyongan meninggalkan Teguh dan hasil buruannya. Pisaunya pun disita.
Teguh melangkahkan kakinya menuju si cewek dan kedua temannya.
“Ini Nona, dompet kamu…”
“Terima kasih yach…”
Si cewek menerima dompetnya kembali. Tapi dia masih belum dapat berdiri akibat
cideranya tadi. Teguh memijat kaki si cewek. Dengan tehnik pijat-memijat yang
dipelajarinya di toko buku, mulai dari pijat dengan tangan sampai pijat akupuntur, dia
cukup lihai.
“Gimana udah merasa baikan?” tanya Teguh. Si cewek berusaha untuk berdiri.
“Yap, aku udah baikan koq, sekali lagi makasih yach…”
“Boleh aku tahu nama kamu?” tanya si cewek.
“Teguh Irawan…please call me Teguh aja, kalo kamu siapa?”
“Ade Irma Rachman…please call me Ade aja…” mereka tersenyum lebar. Tak lupa
Teguh memperkenalkan kedua temannya pada Ade.
“Mereka ini memang rada-rada pemalu, apalagi kalo didekati sama cewek cantik seperti
kamu…lihat saja tuch tampang mereka…merah pucat, sampai keringetan lagi” canda
Teguh. Mereka pun tertawa renyah.
“Oh ya, sebagai ungkapan terima kasihku pada kalian, ini ada uang sedikit untuk…” tak
sempat Ade menyerahkan selembar uang lima puluh ribu, Teguh menolak pemberian Ade.
“Tidak usah, De. Kami menolong ikhlas koq…itu sudah prinsip kami, membantu orang
lain tanpa pamrih…iya khan teman-teman!.” Temannya hanya membalas dengan
anggukan.
Ade mencoba memberikan uang itu kepada temannya Teguh, tetep aja temannya menolak.
Karena Teguh dan teman-temannya menolak pemberiannya, lalu Ade menyerahkan kartu
namanya kepada Teguh. Sebuah taksi melintas, Ade menghentikan taksi itu.
“Kalau kalian perlu apa-apa, hubungi aku yach!” seru Ade sebelum taksi melaju
meninggalkan Teguh dan teman-temannya.
Haripun berlanjut…
Teguh mengunjungi sebuah dealer motor. Dia melihat motor dengan berbagai type
terpajang di showroom dealer itu.
“Wah…motor sport yang garang…” ucap Teguh pelan. Dia memandangi motor itu setiap
sudutnya, lekukannya, membuatnya tertarik. Melihat itu, seorang penjaga showroom
mendekati Teguh.
“Permisi Mas, bisa saya bantu?” tanya penjaga showroom sambil membawa brosur dan
daftar harga.
“Ah…tidak Mba, saya hanya lihat-lihat saja koq…boleh saya minta brosur dan daftar
harga motornya, Mba?”
“Boleh…” penjaga showroom itu menyerahkan brosur dan daftar harga motor yang
diminta Teguh. Lalu Teguh meninggalkan dealer itu. Dia merasa, uangnya belum cukup
untuk membeli motor impiannya.
Diperjalanan, Teguh berpapasan dengan dua orang pemuda yang sedang membawa
seorang anak secara paksa. Dia merasa curiga pada kedua orang itu, karena salah satu dari
mereka membekap mulut anak itu.
“Jangan-jangan mereka penculik…”
“Aku harus ikuti mereka…” Teguh mengikuti kemana mereka pergi. Salah satu diantara
mereka menoleh ke belakang, memastikan tidak ada orang yang mengikuti. Teguh
menghindar, bersembunyi di balik tembok agar tidak terlihat penculik itu. Akhirnya
mereka sampai di sebuah bangunan tua. Seorang penculik menghubungi orangtua anak
itu, dengan meminta sejumlah uang untuk tebusan anaknya.
“Saya ingin Bapak datang sendiri membawa uang tebusan itu…”
“Bapak jangan bertindak macam-macam, jangan coba-coba hubungi Polisi, kalo Bapak
coba-coba menghubungi Polisi…tau sendiri akibatnya!” si penculik membuka mulut si
anak dan mendekatkan handphone ke mulut anak itu.
“Papa…Adi takut, to…” tak sempat Adi meneruskan ucapannya, si penculik mengambilalih
pembicaraan itu.
“Bagaimana Pak Taufik, lima ratus juta rupiah, cash!”
“Iya, permintaan kalian saya kabulkan, tapi tolong jangan sakiti anak saya…” pinta Pak
Taufik. Pak Taufik diberi waktu satu jam untuk segera menyerahkan uang itu. Ade, putri
sulung Pak Taufik mendengar pembicaraan papanya dengan penculik itu. Sedangkan
istrinya Pak Taufik shock mendengar hal itu.
“Mama tak usah kuatir, biar Papa yang urus” ucap Pak Taufik menenangkan istrinya.
“Papa, Ade ikut…” pinta Ade kepada papanya untuk mengambil uang tebusan di Bank.
Akhirnya uang itu dimasukkan ke dalam koper. Mereka menuju ke tempat dimana Adi
disekap oleh penculik itu.
“Dul, gue laper nich…sonoh elo beli makanan, apaan kek…” pinta Komeng pada Bedul,
si penculik.
Di tengah perjalanan untuk membeli makanan, Bedul dihadang oleh Teguh.
“Heh Bedul! elo kenal siapa gue…”
Bedul kaget ketika seseorang berdiri di hadapannya, yang tak lain dan tak bukan orang
yang telah menggagalkan aksi copetnya waktu itu.
“Elo udah ganti profesi yah…dulu pencopet, sekarang malah jadi penculik, kagak kapok
juga lu!, tapi bagi gue kaga ada bedanya, sama-sama penjahat!”
Merasa takut, Bedul mengambil langkah seribu, lari. Dengan sigap Teguh melompat
terbang, menendang Bedul. Bragh!, Bedul jatuh tersungkur.
“Ampun bang…ampun…” lalu Teguh menyeret Bedul dan mengikatnya di tiang listrik
tak jauh dari situ. Teguh mengambil sesuatu dari balik bajunya.
“Elo jangan coba-coba lari…elo inget pisau ini…kalo elo coba-coba lari…pisau ini gue
tancepin di jidat elo, ngerti!”
Teguh meninggalkan Bedul, menuju bangunan tua itu. Ade dan papanya sudah sampai
duluan. Transaksi pun terjadi.
“Tolong, lepaskan anak saya…”
“Eh…enak aja, lempar dulu tuch duitnya, cepet!” tak sempat Komeng mengambil uang
itu, Adi menggigit tangannya dan berhasil lolos dari dekapan Komeng.
Adi berlari menuju Ade dan papanya. Komeng tak menghiraukan luka akibat gigitan itu,
dia berusaha menangkap Adi. Baru beberapa langkah sebuah tendangan telak ke tubuh
Komeng, membuatnya jatuh tersungkur.
“Hei bocah, kamu gak apa-apa?” tanya Teguh menanyakan keadaan Adi. Adi hanya
mengangguk.
“Kamu…Teguh, khan?” tanya Ade.
“Jumpa lagi, Nona manis…kalian semua mundur, biar saya hadapi begundal tengik ini”
“Heh…siapa luh…berani-beraninya nendang gue…belon tau gua kali!”
“Dasar bodoh!, dongo lu…udah tau elo penculik, malah pake nanya lagi!”
Dengan membabi-buta Komeng menyerang Teguh dengan hujaman pisaunya. Teguh
dapat menepis, menghindar dari setiap serangan Komeng. Pukulan telak mengenai dada
Komeng, membuat Komeng jatuh terjengkang. Komeng berpura-pura meringis kesakitan,
matanya menatap tajam, untuk mencari saat yang tepat dikala lawannya sedang lengah.
Komeng dengan sigap berdiri dan melesat bagaikan kilat, berlari menghampiri Ade yang
kala itu sedang menanyakan kondisi adiknya.
“Ade, awas!” teriak Teguh. Tak terelakkan lagi, sebuah tusukan mendarat di tubuh Teguh
yang berusaha menepis serangan yang akan mencelakai Ade. Dengan kekuatan penuh di
kepalan tangannya, Teguh menghajar kepala Komeng dengan sekuat tenaga, membuat
Komeng jatuh tersungkur tak berdaya. Pisau menancap di dada Teguh. Dia berusaha
menahan rasa sakit akibat tusukan itu. Tak lama kemudian pandangan matanya kabur…
dan dia pun jatuh pingsan.
“Papa, Teguh Pa…cepet panggil ambulan!” Ade terkejut melihat pisau menancap di dada
Teguh. Dengan segera, Pak Taufik menghubungi rumah sakit meminta jasa ambulan dan
Kantor Polisi untuk membekuk Komeng. Ade mengusap dengan hati-hati darah segar
yang mengalir dari dada Teguh akibat luka tusukan itu dengan sapu tangannya. Melihat
kondisi Teguh, kaca-kaca cair menghiasi matanya yang indah, air matanya mengalir
membasahi pipinya. Akhirnya ambulan pun datang untuk menghantarkan Teguh ke rumah
sakit. Massa mengerubungi tempat kejadian, untuk melihat apakah gerangan sedang
terjadi. Saat itu Wawan melintasi tempat itu. Dia melihat Teguh sedang dipandu oleh
petugas ambulan dengan kondisi sekarat. Dia terkejut melihat sebilah pisau tertancap di
dada Teguh. Dia ingin mendekati ambulan itu untuk menanyakan kondisi Teguh, tapi
mobil ambulan itu sudah keburu pergi. Dia melihat nama Rumah Sakit yang tertera di
body mobil ambulan itu, dan segera menuju rumah Teguh untuk memberitahukan hal ini
kepada ibunya. Ade mendampingi Teguh di ambulan, sedangkan pak Taufik dan Adi
mengikutinya dari belakang. Si penculik, Komeng, digelandang ke Kantor Polisi terdekat.
Sesampainya di rumah sakit, karena luka yang dideritanya cukup parah, Teguh
dimasukkan ke Unit Gawat Darurat.
“Siapa anggota keluarga korban?” tanya Dokter.
“Saya, Dok!.” Pak Taufik dan Ade menghampiri Dokter itu, mewakili keluarga korban.
“Bagaimana dengan kondisinya, Dok?”
“Tenang pak, beliau baik-baik saja, kami sudah melakukan operasi kecil, lukanya dijahit
beberapa jahitan. Untunglah pisau itu tidak sampai melukai jantungnya. Sekarang beliau
perlu istirahat dulu. Oh iya Pak, saya menemukan ini di saku Teguh, kartu nama seorang
gadis dan brosur motor, mungkin ini yang menyelamatkannya…yah, walaupun hanya
sebuah kertas” terang Dokter, lalu menyerahkan kartu nama dan brosur itu kepada Pak
Taufik.
“Ade Irma Rachman…ini khan kartu nama kamu, koq ada sama dia?” tanya Pak Taufik
kepada putrinya.
“Iya Pah, waktu itu Ade pernah kecopetan di bus, Teguh menolong Ade, sebagai balas
jasa, Ade kasih uang, tapi Teguh menolak, ya sudah Ade kasih kartu nama, nanti kalo-kalo
dia perlu apa-apa tinggal hubungi Ade…”
“Dan ini yang kedua kalinya Teguh menyelamatkan Ade…” terang Ade kepada papanya.
“Tolong selamatkan Teguh ya, Pah!?” pinta Ade pada papanya.
“Tenang sayang, kamu khan sudah dengar tadi, Dokter bilang Teguh baik-baik saja” Pak
Taufik hanya tersenyum menenangkan putrinya. Untuk membalas jasa Teguh, Pak Taufik
menanggung semua biaya rumah sakit.
“Dokter, bagaimana dengan keadaan anak saya, Dok?” tanya Ibu Dian yang sampai di
rumah sakit setelah mengetahui musibah yang menimpa anaknya.
“Tenang Bu, Teguh baik-baik saja. Sekarang beliau perlu istirahat dulu…”
“Oh ya, Bu, Pak Taufik, saya tinggal dulu…”
“Silahkan,Dok”
“Ibu, orangtuanya Teguh?” tanya Pak Taufik.
“Betul Pak, saya ibunya, Bapak siapa yah?”
Lalu Pak Taufik menerangkan kejadian ini kepada Ibu Dian, hingga hal ini menimpa
anaknya.
“Bu, tadi Dokter menemukan ini di saku anak Ibu” Pak Taufik menunjukkkan brosur
motor itu kepada Ibu Dian.
“Teguh mengimpikan sekali ingin memiliki motor seperti ini, saya kasihan sekali sama
dia, setelah suami saya meninggal, dia bekerja keras untuk mendapatkan uang. Disamping
itu juga dia membantu saya membiayai sekolah adik-adiknya, jadi uangnya selalu
terpakai…” kenang Ibu Dian sedih.
Tiga hari kemudian…
Teguh sudah merasa baikan setelah tiga hari dirawat di rumah sakit. Pak Taufik,
Ade, Ibu Dian dan adik-adiknya datang menjemputnya. Dokter menyarankan kondisi
Teguh masih status “rawat jalan”. Dokter melarangnya untuk kerja berat dulu.
Sesampainya di rumah, Teguh disambut oleh teman-temannya. Ade membantu menuntun
Teguh menuju rumahnya. Pak Taufik dan Ibu Dian mengikutinya dari belakang.
“Sebelum kamu masuk, aku ingin beri kejutan buat kamu, Guh!” seru Ade.
“Kejutan? Maksud kamu?”
Ade membuka pintu, dan sebuah motor dengan kondisi baru, terpajang kokoh di ruang
tamu.
“Wah, motor sport impian, ini buat saya, De?”
“Iya, buat kamu…Papa yang belikan”
“Terima kasih ya, De!”
“Terima kasih Pak Taufik…apakah saya berhak menerimanya?”
“Ya, kamu berhak menerimanya, karena kamu telah menolong anak saya”
Teguh senang sekali, motor yang dia impikan telah dia dapatkan.
Bagaimana dengan kondisi si Bedul…
“Apakah ada orang di sana!?…”
“Saya terikat!”
“Saya gak mau lagi jadi penjahat!”
“Saya kapok!”
“Tolooooooong…………!!!”
Rupanya Bedul dengan tampang kusut dan kumel belum digiring ke Kantor Polisi, karena
masih terikat kuat di tiang listrik itu. Apalagi tempat itu jarang sekali dilalui oleh orang.
Orang-orang beranggapan, di sekitar bangunan tua itu tempatnya angker. Jadi si Bedul
hanya menunggu nasib saja, memelas bantuan orang lain untuk melepaskan dirinya. Itu
juga kalo ada orang yang berani lewat tempat itu.

Read On 0 komentar

My Profile :

My Profile :

Total Pengunjung :

Followers