Cerpen "Setan Berparas Rupawan"

Di pagi hari yang cerah, aku berjalan menelusuri gang sempit. Ada sebuah warung
kopi, duduk beberapa orang sedang menyimak berita pagi. Aku menghentikan
langkahku. Televisi hitam-putih yang kusam dimakan usia, menampilkan konflik
perang yang sangat memprihatinkan.
“Dalam rangka misi perdamaian…perdamaian versi siapa!” seru seorang Bapak paru
baya dengan nada tinggi. Di layar kaca itu, sebuah pesawat dengan indahnya meliukliuk
di angkasa. Dibalik keindahan itu ada sesuatu yang menakutkan, dilengkapi dengan
persenjataan super canggih, siap meluncur dan memborbardil sasarannya. Teknologi
bukan lagi untuk memakmurkan tapi menghancur-leburkan.
Lalu aku melangkahkan kaki meninggalkan warung itu. Pandanganku
menerawang jauh, sampai akhirnya tatapanku tertuju pada sebuah meja yang
menghamparkan koran dan majalah. Aku melihat judul pada halaman depan koran
harian ibukota, tertulis dengan huruf besar dan tebal, KORUPSI DI TUBUH PT.X.
Nasib para karyawan menjadi taruhan, karena perusahaannya akan tutup, bangkrut,
akibat korupsi yang dilakukan oleh oknum pimpinan yang tidak bertanggung-jawab.
Memang, para koruptor tidak mempunyai hati nurani, mereka hanya mementingkan diri
sendiri, tidak peduli pada kepentingan orang banyak. Kemudian aku menoleh ke koran
yang lainnya. Aku lihat photo orang yang sering muncul di layar kaca, ya…dia seorang
publik figur, aku lalu membaca artikel mengenai dirinya, aku tidak menyangka dia
tertangkap pihak berwajib karena kedapatan membawa dan mengkonsumsi
NARKOBA. Shabu-shabu, ganja, heroin, morfin, pil ekstasy, dan berbagai jenis obatobatan
terlarang lainnya, selalu muncul dan menjadi berita hangat di berbagai media
massa. Orang awam menyebutnya PIL SETAN.

Hari mulai beranjak siang, ku langkahkan lagi kakiku menuju sebuah terminal
yang penuh sesak dengan lautan manusia, dan kendaraan yang siap mengantarkan siapa
saja yang akan membawa mereka ke tempat tujuan. Lalu tatapanku tertuju pada sebuah
sudut di terminal itu. Sekumpulan orang sedang asik bermain kartu, dengan taruhan
lembaran uang rupiah. Riang gembira bercampur serius tampak di wajah mereka. Tapi
dibalik itu semua, di dalam hati mereka ingin saling menjatuhkan, hanya satu tujuan,
menang dari taruhan. Mereka tidak merasakan di ujung sana, sang istri dan anak yang
mengharapkan lembaran-lembaran yang berharga itu, untuk memenuhi kebutuhan hidup
mereka. Agar dapur tetap ngebul, ingin punya baju baru karena melihat anak lain
memakai baju baru atau sekedar untuk uang jajan. Bermain judi, menang dan menang
yang ada di dalam otak mereka.
Lelah aku berjalan, ku langkahkan kakiku menuju sebuah pohon yang rindang,
berteduh untuk melepaskan rasa letih dan lelah. Baru beberapa menit aku berbaring,
merasakan sejuknya suasana walaupun polusi udara ibukota menyelimuti.
“Toolong…copet…copet!” teriak seorang ibu di keramaian, membuatku tersontak
kaget. Dengan sigap aku berusaha berdiri dari istirahatku untuk melihat ada apa
gerangan yang terjadi. Aku melihat seorang ibu berusaha mengejar seseorang yang
mencuri dompetnya, tapi anehnya orang-orang sekitar tidak peduli akan hal itu, mereka
hanya terdiam menyaksikan kejadian yang ada di depannya, tidak ada yang bereaksi,
membantu sang ibu menangkap pencopet itu. Mungkin karena sang pencopet
mengacung-acungkan senjata tajam ke arah mereka, jadi mereka tidak berani berbuat
apa-apa. Kejadian itu begitu cepat, sang pencopetpun luput dari pandangan, berhasil
kabur. Sang ibu hanya meratapi nasibnya dengan menangis tersedu-sedu.

“Pak, kenapa orang-orang diam saja, tidak menangkap pencopet itu!” tanyaku kepada
seorang Bapak penjual minuman.
“Hal itu disini sudah biasa dik, sering terjadi kayak gitu, mulai dari pencurian sampai
pembunuhan, jadi kita tidak bisa berbuat apa-apa, kalo menolong malah kita nanti yang
kena, nyari aman saja deh…” ucap sang bapak.
“Seharusnya laporkan saja ke pihak keamanan setempat, agar segera ditindak-lanjuti,
Pak!” usulku.
“Harusnya begitu, bekerjasama dengan pihak keamanan untuk memberantas kejahatan,
tapi karena diancam akan dibunuh kalo lapor pihak keamanan, lebih baik diam, dik!”
keluh sang bapak.
Kalau hal ini dibiarkan berlarut-larut bisa banyak memakan korban. Kesadaran
dari masyarakat dan pihak keamanan sangatlah penting. Tapi aku sama seperti mereka,
dari kejadian tadi aku tidak kuasa berbuat apa-apa. Kakiku rasanya berat untuk
menolong ibu tadi menangkap pencopet itu. Seandainya aku menolong ibu itu, nyawaku
taruhannya. Bahkan kalau “maling teriak maling”, dimana sang pencopet menuduh aku
pencurinya, padahal aku menolong ibu itu, lebih berbahaya lagi, bisa-bisa aku bisa
dipukul ramai-ramai. Kecuali kalau aku superhero seperti Superman, Spiderman,
Batman, Daredevil yang siap membasmi kejahatan. Tapi aku bukan seperti mereka,
mereka hanya tokoh yang ada di dunia imajinasi, sedangkan aku seorang yang lemah,
tak berdaya, tak bernyali.
Aku kesal kepada mereka yang pengecut, tak punya nyali dan aku juga benci
kepada diriku sendiri karena aku juga salah satu bagian dari mereka. Sambil menenteng
sebungkus plastik minuman untuk melepas dahagaku dan sepotong roti yang harganya
lima ratus rupiah untuk menghilangkan rasa laparku, ku lanjutkan lagi perjalananku,
tanpa arah dan tujuan, terserah mau dibawa kemana tubuhku ini. Tak sadar diriku
berada di arena ngetrek para biker. Motor yang mereka tumpangi terlihat garang, keren,
dengan desain warna yang cerah, aku rasa mahal biaya modifikasinya. Entah kapan aku
bisa memiliki motor seperti itu, aku selalu mengimpikannya, motor yang keren, bisa
nampang di depan teman-teman, apalagi cewek-cewek, wah senangnya!.
“Greng…greng…” suara mesin motor menderung mengusik lamunanku. Para biker
siap-siap memacu motornya dengan kecepatan tinggi. Mereka unjuk nyali dan
ketangkasan, yang jelas-jelas nyawa taruhannya. Yang terpikir olehku terjadi juga,
ketika baru beberapa meter dari garis start, seorang pengendara dengan kecepatan tinggi
berusaha ingin melewati tikungan tajam. “Sreeeeeng….reeet…brakkk!!!” kecelakaan
tak terelakkan lagi, sang pengendara terpental dari motornya dan kepalanya membentur
trotoar yang sebelumnya tubuhnya terseret badan jalan beberapa meter. Aku dan orangorang
yang melihat aksi mereka segera berlari menghampiri pengendara itu untuk
melihat kondisinya. Apa yang terjadi! aku melihat pakaian sang pengendara terkoyak,
tubuhnya penuh luka, tapi yah ampun! kepalanya hancur, terbelah, sampai-sampai isi
kepalanya berhamburan. Kontan saja aku muntah. Es kelapa yang aku minum, roti yang
aku makan tadi terlontar keluar dari mulutku, terlihat masih utuh. Bagaimana dengan
kondisi motornya!, motor yang tadi terlihat keren, garang, dan mungkin paling bagus
dari motor yang lain, ringsek. Ku pandangi motor itu, sangat menyayangkan sekali.
Muak dengan kejadian itu, aku pergi meninggalkan tempat itu.
Hari pun mulai gelap, aku bergegas pulang. Sebelum pulang, aku ingin mengisi
perut dengan nasi goreng sebagai makan malamku. Sepanjang jalan menuju rumahku,
aku melihat di pinggir jalan terdapat warung remang-remang. Di warung itu berdiri
wanita-wanita yang terlihat cantik, menggoda siapa saja yang melewatinya. Orang-
orang mengenal mereka sebagai PSK – Pekerja Seks Komersil atau WTS – Wanita
Tuna Susila atau apalagi istilah yang lainnya, masa bodoh dengan itu.
“Mampir dulu dong, mas!”. Ajakan kayak gini pasti tidak asing lagi, sampai-sampai aku
ikut digodanya. Aku hanya jalan terus, tidak pedulikan mereka. Pikiranku hanya
memesan sebungkus nasi goreng dan pulang, TITIK!.
Akhirnya sampailah aku di rumah. Ku taruh bungkusan nasi goreng itu, dan
menuju kamar mandi. Lalu Aku mencuci tangan dan membasuh wajahku untuk
menghilangkan debu dan kotoran yang melekat. Ku pandangi wajahku di depan cermin,
memastikan wajahku sudah bersih. Aku terdiam di depan cermin, memikirkan kejadian
hari ini. Menyaksikan berita tentang perang yang membuat penderitaan dan
kesengsaraan, kasus korupsi yang terpampang di halaman depan koran harian ibukota
dimana nasib karyawan menjadi taruhan, publik figur, panutan yang terlibat narkoba,
manusia-manusia yang duduk bersama di meja judi, pencopet yang beraksi, aksi para
biker dengan taruhan nyawa, wanita-wanita cantik dengan gelar PSK-nya. Aku berpikir
bahwa sesuatu yang terlihat indah dan tampak menyilaukan ternyata buruk bagiku,
meskipun tidak semua yang indah itu buruk. Pesawat super canggih dilengkapi senjata
dengan liukan indahnya, koruptor yang awalnya bermuka manis, narkoba yang
membuat nge-fly pemakainya, uang untuk berjudi, aksi pencopet dengan gertakan
mengancam, motor yang bagus dan keren, dan wanita-wanita cantik yang menggoda,
justru malah menghancurkan, menjerumuskan. Itu semua akibat dari hawa nafsu, ego,
ketamakan, keserakahan yang tertanam kuat dalam hati dan pikiran manusia.
Seandainya ada alat untuk melihat apakah orang atau sesuatu itu baik atau buruk, seperti
kaca mata, cermin, mungkin aku bisa lebih berhati-hati dan menghindari hal-hal buruk
menimpaku. Setan sangat berperan dalam kehidupan manusia. Dia dapat merasuki hati
dan pikiran manusia untuk merusak kehidupan, sampai akhir jaman. Kebanyakan orang
menganggap setan itu seram dan menakutkan, tapi pada kenyataannya setan itu justru
bentuknya indah, rupawan dengan berbagai macam pola.
Ku pandangi cermin itu dengan tegas dan berpikir “Apakah aku adalah salah satu
bagian dari mereka “Setan Berparas Rupawan?”

0 komentar:

Posting Komentar

My Profile :

My Profile :

Total Pengunjung :

Followers