Cerpen "Impian Jadi Bintang"

“Jadi bintang enak kali yah, terkenal, diidolakan banyak orang, apalagi sama cewekcewek,
wah…yang pasti senang banget. Yang jelas gue pasti punya gelar baru,
“Selebritis”. Tapi apa mungkin, sedangkan gue hanya seorang penjual koran, yang
setiap harinya hanya menjajakan koran.” ucap Robert pelan.
Saat merapikan koran, tabloid dan majalah yang akan dibawa Robert, dia terkesima
dengan cover depan tabloid GAUL.
“Jadi Bintang Itu Gampang…Nah ini dia yang gue cari-cari, Alamat TV, Production
House dan Agency, syarat-syaratnya apa aja yach?”
“Photo…Biodata…Photo sama Biodata?!”
Robert duduk bersandar di tembok rumahnya. Pikirannya menerawang jauh.
***
Photo dengan pose close-up, tampak samping dan seluruh badan serta biodata sudah dia
persiapkan dan dikirim ke semua alamat Production House. Tinggal tunggu panggilan
kasting.
***
“Selamat siang, bisa bicara dengan Robert?”
“Saya sendiri pak…”
“Kami dari Bagian Kasting Indosiar, kami akan mengadakan kasting besok jam 9
pagi…”
***
Keesokan harinya, dengan mengenakan kaos warna merah dan celana jeans, Robert
sudah bersiap-siap menuju Indosiar.
“Do’ain aye yah Mak, biar lolos casting!”
“Iye deh Bet, Emak do’ain semoga elu berhasil, jadi bintang terkenal kayak entu-tu, si
Ari Wibowo, Jeremy Thomas, Primus…” ucap emaknya.
“Emak pengen nasib elu berubah, jangan terus-terusan jadi penjual koran…mumpung
ada kesempatan”
“Terima kasih yah Mak atas dukungannya…”
***
Di tempat kasting, Indosiar…
“Saya ingin kamu akting saat kamu sedang marah, sedih dan senang…” pinta kru
pengkasting
“Bisa minta contoh naskahnya, Pak?” tanya Robert
“Saya ingin kamu bisa improvisasi…cari kata-kata yang menurut kamu pas dari ketiga
sikap itu”
Robert berpikir sejenak mencari kata-kata yang akan dilontarkannya.
“Hey, jangan sentuh pacar gue…kalo sampai elo sentuh, gue hajar luh!” seru Robert
dengan nada tinggi sampai-sampai kru pengkasting kaget dibuatnya.
“Jangan sentuh pacar gue, gue mohon…” ucap Robert dengan memasang muka sedih.
“Ha…ha…ha…Elo mau sentuh dia, sentuh aja lagi, lagian dia bukan pacar gue kok!”
ucap Robert sambil tertawa ngakak. Ulahnya ini membuat para kru dan calon pemain
yang melihat aksinya turut tertawa geli.
“Bagus…bagus…Robert. Hasil casting akan diberitahukan besok via telepon” ucap kru
pengkasting.
“Kenapa engga sekarang aja, Pak?” tanya Robert penasaran.
“Soalnya masih banyak calon pemain yang belum dikasting, kami ingin mencari
karakter yang benar-benar pas” terang kru pengkasting.
Dengan langkah penuh percaya diri, Robert meninggalkan lokasi itu.

***
“Tolong…tolong, copet!” teriak seorang cewek dari kejauhan. Robert terhentak kaget
mendengar teriakan itu. Dia mencari tahu siapa gerangan yang minta tolong.
“Tenang Nona, dimana copetnya?” tanya Robert pada cewek itu.
“Kamu? Maaf, kami sedang…” ucap cewek ingin menjelaskan sesuatu pada Robert.
“Oh, itu mereka…Hey, jangan lari luh!” seru Robert sambil mengejar para pencopet itu.
“Sini, kembaliin dompet itu!” seru Robert lantang. Para pencopet itu kelihatan bingung.
“Heh, siapa dia?”
“Gue kagak tau”
“Nah loch, kenapa dia ada disini…” bisik mereka.
Salah-satu pencopet itu memberikan kode pada seseorang yang ada di belakang mereka.
Orang itu menjawab dengan acungan jempol sebagai pertanda “Teruskan!”.
“Heh, siapa luh, mo jadi jagoan yah!” bentak si pencopet.
“Iya…eh, gue cuma mo elu-elu pada kembaliin dompet itu sama yang punya. Kalo
kagak…!”
“Kalo kagak, emangnya kenapa?!”
“Gue hajar elo pada!”
Terjadilah duel sengit antara Robert dengan para pencopet.
“Bag…big…bug…” bertubi-tubi serangan yang dilancarkan oleh Robert telak mengenai
tubuh para pencopet itu sampai mereka jatuh terjengkang.
“Engga sia-sia gue belajar Cimande ame Engkong gue…mo gue gibas lagi luh!”
“Ampun deh, Bang…kita nyerah”
“Dari tadi kek, masak gue harus keluarin jurus andalan gue…mana dompetnya!”
Lalu si pencopet menyerahkan dompet itu pada Robert.
“Cut!” seru seseorang yang tak jauh dari tempat itu yang tak lain dan tak bukan adalah
seorang sutradara. Sang sutradara dan cewek tadi menghampiri Robert.
“Ini Nona, dompet kamu” ucap Robert tak menyadari bahwa saat ini sedang ada di
lokasi shooting.
“Luar biasa…kalo boleh saya tahu siapa nama Anda?” tanya sang sutradara.
“Robert Sandiago…panggil aja Robert. Anda Bapaknya Nona ini?”
“Oh, bukan…saya sutradara. Kebetulan kami sedang shooting di sini, adegan seorang
cewek dicopet…untuk Sinetron Petarung Sejati.”
“Jadi…oh maaf…maafkan saya, kalo di sini ada shooting, sekali lagi saya minta maaf”
ucap Robert sambil nyengir melihat para pencopet yang dihajarnya tadi. Dia minta maaf
kepada mereka.
“Hebat…hebat, Anda ternyata punya bakat bela diri rupanya…” ucap seseorang yang
menyaksikan adegan tadi dari kejauhan.
“Oh iya Robert, perkenalkan ini Bapak Herly, Casting Director Indosiar…” ucap
sutradara memperkenalkan Bapak Herly pada Robert.
“Bukannya Bapak tadi ada di lokasi casting?” ucap Robert memastikan.
“Kamu betul, saya yang menilai para calon pemain. Saya rasa kamu punya bakat dan
bisa bergabung di sinetron ini…dan tidak tertutup kemungkinan, kamu bisa main di
sinetron laga yang lain…”
“Saya yang kepilih Pak…terima kasih, Pak!”
“Oh iya, sekedar informasi…sinetron ini seharusnya habis masa tayangnya yaitu
sebanyak 26 episode. Tapi karena banyak permintaan dari para pemirsa di seluruh
nusantara, jadi sinetron ini akan diperpanjang menjadi 100 episode, dan kamu akan
main sampai akhir…” jelas sutradara. Robert senang sekali mendengarnya.

“Robert, kamu sudah kenal khan Nona ini? Dia yang nanti yang akan jadi lawan main
kamu” tanya sutradara sambil menunjuk cewek itu.
“Hah…kamu khan Dian Sastro?!”
“Bukan…aku bukan Dian Sastro…namaku Dini Aminarti!”
“Dini, yang benar ah, abisnya mirip banget sich…he…he…he”
***
“Nah loch, dia malah nyengir lagi, bukannya jualan koran…ck…ck…ck” ucap Emak
sambil geleng-geleng kepala heran melihat Robert duduk melamun.
“Heh…Bet, Robert…elo malah ngelamun disini lagi…buruan sono jualan koran”
“Ah Emak, lagi enak-enak digangguin aja…” teguran Emak membuyarkan lamunannya.
“Elo pagi-pagi gini udah ngelamun, pake nyengir lagi…yang kagak-kagak aja kerjaan
luh, setiap hari kerjaannya menghayal terus…kemarin aja lagi nimba air, elo ngayalin si
Minah, sampe-sampe elo kecemplung sumur…”
“Ini lain lagi Mak, aye mo jadi Bintang Film, Sinetron…aye mo jadi orang terkenal!”
“Mimpi kali elo yee…tampang kaye elo aja mo jadi Bintang Film…Bet, Robert…”
“Malu dong Mak sama nama aye, Robert…masak kagak bisa sich jadi orang terkenal,
nich liat di Tabloid GAUL “Jadi Bintang Itu Gampang”, aye punya buku panduannya”
“Terserah apa kata elo aja deh, Bet…”
“Do’ain aja yah, Mak!”
“Iya…iya, biar semua korannya laku!”
“Bukan…bukan itu Mak, biar aye bener-bener jadi orang terkenal…he…he…he”
***
Di sudut lampu merah…
“Koran…koran, majalah, tabloid GAUL-nya, Non!” seru Robert dengan logat layaknya
penjual koran kebanyakan. Dia menawarkan tabloid GAUL kepada salah seorang
pengendara sedan.
“Nona mo jadi Bintang Film, Sinetron…ini Non! Ada alamat Production House, Stasiun
Teve, Agency, lengkap dengan tips-tipsnya.”
“Berapa harganya, Bang?”
“Kita khan ada di Jakarta nich, jadi cuma lima ribu rupiah aja, Non!…tapi kalo kita di
luar Pulau Jawa dan Bali harganya lima ribu lima ratus perak…” canda Robert.
“Nona khan cantik, saya yakin dech kalo Kamu pasti bisa jadi Bintang…” puji Robert.
“Boleh saya tanya Bang? Abang jangan marah yah…kok ganteng-ganteng jualan koran
sich? Kenapa abang engga coba aja ikutan casting?”
“Masa iya sich, Non?”
“Serius!”
“Tunggu dulu, kamu khan…Dian Sastro?”
“Kamu kenal sama saya?”
“Iya dong, masak bintang setenar dan secantik kamu, saya gak kenal. Boleh saya minta
tanda-tangannya?” pinta Robert sambil mengeluarkan pulpen dan kertas yang ada
dibalik sakunya. Dengan senang hati, Dian menorehkan tanda-tangannya.
“Pertimbangkan saran saya tadi yach, asal kamu yakin dan percaya diri…” ucap Dian
sambil menutup pembicaraan.
“Tuh khan, Emak engga percaya sich, Dian Sastro aja kasih dukungan. Pokoknya mulai
hari ini, saat ini dan detik ini juga, gue harus ngebuktiin bahwa gue bisa jadi Bintang…”
ucap Robert penuh antusias.
0 komentar:

Posting Komentar

My Profile :

My Profile :

Total Pengunjung :

Followers