Cerpen "Motor Impian"

“Jangan menghayal kamu, Guh?” ucap Wawan kepada Teguh yang melihatnya sedang
melamun.
“Ini bukan khayalan, aku ingin buktikan bahwa aku bisa mewujudkan motor impian aku!”
ucap Teguh yakin, saat Teguh dan teman-temannya menyaksikan adu ngetrek para biker
di jalan. Pandangannya menerawang jauh, membayangkan motor impiannya. Teguh ingin
sekali memiliki motor sport.
Dia berusaha mengumpulkan uang untuk membeli motor itu. Pekerjaan apa saja dia
lakoni, kerja serabutan, asal menghasilkan uang. Disamping itu, Teguh juga merupakan
tulang punggung keluarganya, membiayai kebutuhan hidup dan sekolah kedua adiknya,
karena ayahnya telah meninggal satu tahun yang lalu.
“Bu, Sari pengen buku baru dan baju baru…khan udah ganti pelajaran baru” pinta Sari
kepada ibunya.
“Uang dari mana, Sari…sudah, kamu pakai saja dulu buku yang lama, khan masih ada
yang kosong…”
“Lagipula juga baju kamu yang lama masih bagus, masih layak pakai…” ucap Ibu Dian
kepada anaknya. Sari tersenyum miris. Dia menyadari bahwa ibunya tidak mampu untuk
membelikan keinginannya itu. Lalu Sari mencium tangan ibunya, berangkat ke sekolah.
Setelah Sari jauh dari pandangannya, tak kuasa air mata menetes di pipinya. Ibu Dian
merasa sudah kewajibannya untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Tapi uang dari hasil
usaha warung kecil-kecilan di depan rumahnya tidaklah cukup. Hal itu tidak luput dari
pandangan Teguh yang kala itu mendengar permintaan adiknya. Dia lalu melangkahkah
kaki menghampiri ibunya. Mengetahui Teguh mendekatinya, Ibu Dian menyeka air
matanya. Tapi hal itu tak luput dari pandangan Teguh.
“Bu, ini Teguh ada uang untuk membelikan Sari buku dan baju baru…ambillah, Bu” ucap
Teguh sambil menunjukkan sejumlah uang kepada ibunya.
“Jangan, Guh, kamu khan ingin beli motor…Ibu tidak ingin memakai uang kamu, biar Ibu
saja yang mencarikan nanti…” ucap ibunya menolak.
“Tidak apa-apa koq, Bu…lagi pula buku dia sudah habis, dan Teguh perhatikan bajunya
juga sudah kelihatan sobek dan kusam, jadi perlu diganti dengan yang baru, kemarin juga
Dito minta dibelikan tas baru…dan ini sekalian untuk biaya SPP bulan ini.”
Lalu Teguh memberikan uang kepada ibunya. Teguh tersenyum agar dapat memupuskan
kesedihan ibunya. Sebelum pergi bekerja, dia pamit kepada ibunya.
Pagi ini, bersama temannya, Teguh menjajakan koran dan majalah di sudut terminal.
Dia juga mempunyai pelanggan di perumahan-perumahan yang tak jauh dari tempat
tinggalnya. Dengan sepedanya, newspaperboy ini mendatangi para pelanggannya untuk
memberikan surat khabar sesuai pesanan.
Siang harinya, Teguh bersama teman-temannya ngamen sampai sore hari. Kadang
kalau ngamen lagi sepi, dia juga bekerja sebagai kuli bangunan atau bekerja sambilan di
bengkel temannya, servis plus modifikasi body motor. Teguh senang sekali memodifikasi
motor, apalagi motor sport. Walaupun motor itu bukan miliknya, dia melakukan modif
layaknya motor sendiri. Tak heran banyak para pelanggan yang datang padanya untuk
minta dimodifikasi motornya, karena kreasi Teguh tak kalah bagusnya dengan kreasi
orang yang sudah berpengalaman. Sedangkan malam harinya, dia bekerja sebagai pelayan
restoran.
Suatu hari, Teguh dan kedua temannya sedang mengamen di bus kota. Ada seorang
pencopet beraksi. Si pencopet merogoh tas seorang cewek cantik. Si cewek cantik itu
menyadari kalau tasnya digerayangi seseorang. Si pencopet berhasil mengambil
dompetnya dan berusaha kabur.
“Copet…copet…” teriak si cewek sambil mengejar si pencopet yang ingin kabur lewat
pintu belakang. Teriakan si cewek terdengar nyaring di telinga para penumpang dan awak
bus itu, terutama Teguh yang kala itu sedang melantunkan sebuah lagu. Dia menghentikan
nyanyinya dan berusaha mengejar si pencopet itu. Si pencopet meloncat dari bus yang
kala itu melaju kencang. Sopir bus menghentikan laju kendaraannya. Si cewek melompat
dari bus untuk mengejar pencopet itu, tapi sayang, kakinya terkilir, dia meringis kesakitan.
Teguh mendekati cewek itu.
“Kamu tidak apa-apa, Nona?”
“Teman-teman, kalian jaga cewek ini, aku yang kejar tuh pencopet!.”
Lalu Teguh mengejar pencopet itu yang berlari, masuk ke jembatan layang. Pada saat
menuruni tangga, si pencopet jatuh tersungkur karena tersandung tangga. Si pencopet
berdiri dan mengeluarkan sebilah pisau dari balik bajunya.
“Elo jangan mendekat, kalo mendekat, gue bunuh, lu!” seru si pencopet sambil
mengacung-acungkan pisaunya.
“Gue gak takut, cepet, serahin dompet itu…” seru Teguh tak gentar menghadapi ancaman
si pencopet. Tanpa pikir panjang si pencopet menghujamkan pisaunya ke tubuh Teguh,
tapi Teguh berhasil menepisnya. Dengan sigap dia menangkap tangan si pencopet dan
memelintirnya hingga pisau itu terlepas dari genggaman pencopet itu. Serangan dengan
lutut ala thai-boxing mendarat telak di ulu hati si pencopet, kontan si pencopet
terjengkang, meringis kesakitan.
“Heh…mana dompetnya, cepet serahin…kalo engga, gue gibas lu!” seru Teguh sambil
mengepal tangannya dan menarik baju si pencopet. Merasa takut, si pencopet
menyerahkan dompet itu pada Teguh. Setelah dompet di tangan, Teguh menghempaskan
tubuh si pencopet.
“Cepet elo pergi, gue muak liat tampang lu!” ancam Teguh. Si pencopet pergi dengan
langkah sempoyongan meninggalkan Teguh dan hasil buruannya. Pisaunya pun disita.
Teguh melangkahkan kakinya menuju si cewek dan kedua temannya.
“Ini Nona, dompet kamu…”
“Terima kasih yach…”
Si cewek menerima dompetnya kembali. Tapi dia masih belum dapat berdiri akibat
cideranya tadi. Teguh memijat kaki si cewek. Dengan tehnik pijat-memijat yang
dipelajarinya di toko buku, mulai dari pijat dengan tangan sampai pijat akupuntur, dia
cukup lihai.
“Gimana udah merasa baikan?” tanya Teguh. Si cewek berusaha untuk berdiri.
“Yap, aku udah baikan koq, sekali lagi makasih yach…”
“Boleh aku tahu nama kamu?” tanya si cewek.
“Teguh Irawan…please call me Teguh aja, kalo kamu siapa?”
“Ade Irma Rachman…please call me Ade aja…” mereka tersenyum lebar. Tak lupa
Teguh memperkenalkan kedua temannya pada Ade.
“Mereka ini memang rada-rada pemalu, apalagi kalo didekati sama cewek cantik seperti
kamu…lihat saja tuch tampang mereka…merah pucat, sampai keringetan lagi” canda
Teguh. Mereka pun tertawa renyah.
“Oh ya, sebagai ungkapan terima kasihku pada kalian, ini ada uang sedikit untuk…” tak
sempat Ade menyerahkan selembar uang lima puluh ribu, Teguh menolak pemberian Ade.
“Tidak usah, De. Kami menolong ikhlas koq…itu sudah prinsip kami, membantu orang
lain tanpa pamrih…iya khan teman-teman!.” Temannya hanya membalas dengan
anggukan.
Ade mencoba memberikan uang itu kepada temannya Teguh, tetep aja temannya menolak.
Karena Teguh dan teman-temannya menolak pemberiannya, lalu Ade menyerahkan kartu
namanya kepada Teguh. Sebuah taksi melintas, Ade menghentikan taksi itu.
“Kalau kalian perlu apa-apa, hubungi aku yach!” seru Ade sebelum taksi melaju
meninggalkan Teguh dan teman-temannya.
Haripun berlanjut…
Teguh mengunjungi sebuah dealer motor. Dia melihat motor dengan berbagai type
terpajang di showroom dealer itu.
“Wah…motor sport yang garang…” ucap Teguh pelan. Dia memandangi motor itu setiap
sudutnya, lekukannya, membuatnya tertarik. Melihat itu, seorang penjaga showroom
mendekati Teguh.
“Permisi Mas, bisa saya bantu?” tanya penjaga showroom sambil membawa brosur dan
daftar harga.
“Ah…tidak Mba, saya hanya lihat-lihat saja koq…boleh saya minta brosur dan daftar
harga motornya, Mba?”
“Boleh…” penjaga showroom itu menyerahkan brosur dan daftar harga motor yang
diminta Teguh. Lalu Teguh meninggalkan dealer itu. Dia merasa, uangnya belum cukup
untuk membeli motor impiannya.
Diperjalanan, Teguh berpapasan dengan dua orang pemuda yang sedang membawa
seorang anak secara paksa. Dia merasa curiga pada kedua orang itu, karena salah satu dari
mereka membekap mulut anak itu.
“Jangan-jangan mereka penculik…”
“Aku harus ikuti mereka…” Teguh mengikuti kemana mereka pergi. Salah satu diantara
mereka menoleh ke belakang, memastikan tidak ada orang yang mengikuti. Teguh
menghindar, bersembunyi di balik tembok agar tidak terlihat penculik itu. Akhirnya
mereka sampai di sebuah bangunan tua. Seorang penculik menghubungi orangtua anak
itu, dengan meminta sejumlah uang untuk tebusan anaknya.
“Saya ingin Bapak datang sendiri membawa uang tebusan itu…”
“Bapak jangan bertindak macam-macam, jangan coba-coba hubungi Polisi, kalo Bapak
coba-coba menghubungi Polisi…tau sendiri akibatnya!” si penculik membuka mulut si
anak dan mendekatkan handphone ke mulut anak itu.
“Papa…Adi takut, to…” tak sempat Adi meneruskan ucapannya, si penculik mengambilalih
pembicaraan itu.
“Bagaimana Pak Taufik, lima ratus juta rupiah, cash!”
“Iya, permintaan kalian saya kabulkan, tapi tolong jangan sakiti anak saya…” pinta Pak
Taufik. Pak Taufik diberi waktu satu jam untuk segera menyerahkan uang itu. Ade, putri
sulung Pak Taufik mendengar pembicaraan papanya dengan penculik itu. Sedangkan
istrinya Pak Taufik shock mendengar hal itu.
“Mama tak usah kuatir, biar Papa yang urus” ucap Pak Taufik menenangkan istrinya.
“Papa, Ade ikut…” pinta Ade kepada papanya untuk mengambil uang tebusan di Bank.
Akhirnya uang itu dimasukkan ke dalam koper. Mereka menuju ke tempat dimana Adi
disekap oleh penculik itu.
“Dul, gue laper nich…sonoh elo beli makanan, apaan kek…” pinta Komeng pada Bedul,
si penculik.
Di tengah perjalanan untuk membeli makanan, Bedul dihadang oleh Teguh.
“Heh Bedul! elo kenal siapa gue…”
Bedul kaget ketika seseorang berdiri di hadapannya, yang tak lain dan tak bukan orang
yang telah menggagalkan aksi copetnya waktu itu.
“Elo udah ganti profesi yah…dulu pencopet, sekarang malah jadi penculik, kagak kapok
juga lu!, tapi bagi gue kaga ada bedanya, sama-sama penjahat!”
Merasa takut, Bedul mengambil langkah seribu, lari. Dengan sigap Teguh melompat
terbang, menendang Bedul. Bragh!, Bedul jatuh tersungkur.
“Ampun bang…ampun…” lalu Teguh menyeret Bedul dan mengikatnya di tiang listrik
tak jauh dari situ. Teguh mengambil sesuatu dari balik bajunya.
“Elo jangan coba-coba lari…elo inget pisau ini…kalo elo coba-coba lari…pisau ini gue
tancepin di jidat elo, ngerti!”
Teguh meninggalkan Bedul, menuju bangunan tua itu. Ade dan papanya sudah sampai
duluan. Transaksi pun terjadi.
“Tolong, lepaskan anak saya…”
“Eh…enak aja, lempar dulu tuch duitnya, cepet!” tak sempat Komeng mengambil uang
itu, Adi menggigit tangannya dan berhasil lolos dari dekapan Komeng.
Adi berlari menuju Ade dan papanya. Komeng tak menghiraukan luka akibat gigitan itu,
dia berusaha menangkap Adi. Baru beberapa langkah sebuah tendangan telak ke tubuh
Komeng, membuatnya jatuh tersungkur.
“Hei bocah, kamu gak apa-apa?” tanya Teguh menanyakan keadaan Adi. Adi hanya
mengangguk.
“Kamu…Teguh, khan?” tanya Ade.
“Jumpa lagi, Nona manis…kalian semua mundur, biar saya hadapi begundal tengik ini”
“Heh…siapa luh…berani-beraninya nendang gue…belon tau gua kali!”
“Dasar bodoh!, dongo lu…udah tau elo penculik, malah pake nanya lagi!”
Dengan membabi-buta Komeng menyerang Teguh dengan hujaman pisaunya. Teguh
dapat menepis, menghindar dari setiap serangan Komeng. Pukulan telak mengenai dada
Komeng, membuat Komeng jatuh terjengkang. Komeng berpura-pura meringis kesakitan,
matanya menatap tajam, untuk mencari saat yang tepat dikala lawannya sedang lengah.
Komeng dengan sigap berdiri dan melesat bagaikan kilat, berlari menghampiri Ade yang
kala itu sedang menanyakan kondisi adiknya.
“Ade, awas!” teriak Teguh. Tak terelakkan lagi, sebuah tusukan mendarat di tubuh Teguh
yang berusaha menepis serangan yang akan mencelakai Ade. Dengan kekuatan penuh di
kepalan tangannya, Teguh menghajar kepala Komeng dengan sekuat tenaga, membuat
Komeng jatuh tersungkur tak berdaya. Pisau menancap di dada Teguh. Dia berusaha
menahan rasa sakit akibat tusukan itu. Tak lama kemudian pandangan matanya kabur…
dan dia pun jatuh pingsan.
“Papa, Teguh Pa…cepet panggil ambulan!” Ade terkejut melihat pisau menancap di dada
Teguh. Dengan segera, Pak Taufik menghubungi rumah sakit meminta jasa ambulan dan
Kantor Polisi untuk membekuk Komeng. Ade mengusap dengan hati-hati darah segar
yang mengalir dari dada Teguh akibat luka tusukan itu dengan sapu tangannya. Melihat
kondisi Teguh, kaca-kaca cair menghiasi matanya yang indah, air matanya mengalir
membasahi pipinya. Akhirnya ambulan pun datang untuk menghantarkan Teguh ke rumah
sakit. Massa mengerubungi tempat kejadian, untuk melihat apakah gerangan sedang
terjadi. Saat itu Wawan melintasi tempat itu. Dia melihat Teguh sedang dipandu oleh
petugas ambulan dengan kondisi sekarat. Dia terkejut melihat sebilah pisau tertancap di
dada Teguh. Dia ingin mendekati ambulan itu untuk menanyakan kondisi Teguh, tapi
mobil ambulan itu sudah keburu pergi. Dia melihat nama Rumah Sakit yang tertera di
body mobil ambulan itu, dan segera menuju rumah Teguh untuk memberitahukan hal ini
kepada ibunya. Ade mendampingi Teguh di ambulan, sedangkan pak Taufik dan Adi
mengikutinya dari belakang. Si penculik, Komeng, digelandang ke Kantor Polisi terdekat.
Sesampainya di rumah sakit, karena luka yang dideritanya cukup parah, Teguh
dimasukkan ke Unit Gawat Darurat.
“Siapa anggota keluarga korban?” tanya Dokter.
“Saya, Dok!.” Pak Taufik dan Ade menghampiri Dokter itu, mewakili keluarga korban.
“Bagaimana dengan kondisinya, Dok?”
“Tenang pak, beliau baik-baik saja, kami sudah melakukan operasi kecil, lukanya dijahit
beberapa jahitan. Untunglah pisau itu tidak sampai melukai jantungnya. Sekarang beliau
perlu istirahat dulu. Oh iya Pak, saya menemukan ini di saku Teguh, kartu nama seorang
gadis dan brosur motor, mungkin ini yang menyelamatkannya…yah, walaupun hanya
sebuah kertas” terang Dokter, lalu menyerahkan kartu nama dan brosur itu kepada Pak
Taufik.
“Ade Irma Rachman…ini khan kartu nama kamu, koq ada sama dia?” tanya Pak Taufik
kepada putrinya.
“Iya Pah, waktu itu Ade pernah kecopetan di bus, Teguh menolong Ade, sebagai balas
jasa, Ade kasih uang, tapi Teguh menolak, ya sudah Ade kasih kartu nama, nanti kalo-kalo
dia perlu apa-apa tinggal hubungi Ade…”
“Dan ini yang kedua kalinya Teguh menyelamatkan Ade…” terang Ade kepada papanya.
“Tolong selamatkan Teguh ya, Pah!?” pinta Ade pada papanya.
“Tenang sayang, kamu khan sudah dengar tadi, Dokter bilang Teguh baik-baik saja” Pak
Taufik hanya tersenyum menenangkan putrinya. Untuk membalas jasa Teguh, Pak Taufik
menanggung semua biaya rumah sakit.
“Dokter, bagaimana dengan keadaan anak saya, Dok?” tanya Ibu Dian yang sampai di
rumah sakit setelah mengetahui musibah yang menimpa anaknya.
“Tenang Bu, Teguh baik-baik saja. Sekarang beliau perlu istirahat dulu…”
“Oh ya, Bu, Pak Taufik, saya tinggal dulu…”
“Silahkan,Dok”
“Ibu, orangtuanya Teguh?” tanya Pak Taufik.
“Betul Pak, saya ibunya, Bapak siapa yah?”
Lalu Pak Taufik menerangkan kejadian ini kepada Ibu Dian, hingga hal ini menimpa
anaknya.
“Bu, tadi Dokter menemukan ini di saku anak Ibu” Pak Taufik menunjukkkan brosur
motor itu kepada Ibu Dian.
“Teguh mengimpikan sekali ingin memiliki motor seperti ini, saya kasihan sekali sama
dia, setelah suami saya meninggal, dia bekerja keras untuk mendapatkan uang. Disamping
itu juga dia membantu saya membiayai sekolah adik-adiknya, jadi uangnya selalu
terpakai…” kenang Ibu Dian sedih.
Tiga hari kemudian…
Teguh sudah merasa baikan setelah tiga hari dirawat di rumah sakit. Pak Taufik,
Ade, Ibu Dian dan adik-adiknya datang menjemputnya. Dokter menyarankan kondisi
Teguh masih status “rawat jalan”. Dokter melarangnya untuk kerja berat dulu.
Sesampainya di rumah, Teguh disambut oleh teman-temannya. Ade membantu menuntun
Teguh menuju rumahnya. Pak Taufik dan Ibu Dian mengikutinya dari belakang.
“Sebelum kamu masuk, aku ingin beri kejutan buat kamu, Guh!” seru Ade.
“Kejutan? Maksud kamu?”
Ade membuka pintu, dan sebuah motor dengan kondisi baru, terpajang kokoh di ruang
tamu.
“Wah, motor sport impian, ini buat saya, De?”
“Iya, buat kamu…Papa yang belikan”
“Terima kasih ya, De!”
“Terima kasih Pak Taufik…apakah saya berhak menerimanya?”
“Ya, kamu berhak menerimanya, karena kamu telah menolong anak saya”
Teguh senang sekali, motor yang dia impikan telah dia dapatkan.
Bagaimana dengan kondisi si Bedul…
“Apakah ada orang di sana!?…”
“Saya terikat!”
“Saya gak mau lagi jadi penjahat!”
“Saya kapok!”
“Tolooooooong…………!!!”
Rupanya Bedul dengan tampang kusut dan kumel belum digiring ke Kantor Polisi, karena
masih terikat kuat di tiang listrik itu. Apalagi tempat itu jarang sekali dilalui oleh orang.
Orang-orang beranggapan, di sekitar bangunan tua itu tempatnya angker. Jadi si Bedul
hanya menunggu nasib saja, memelas bantuan orang lain untuk melepaskan dirinya. Itu
juga kalo ada orang yang berani lewat tempat itu.

0 komentar:

Posting Komentar

My Profile :

My Profile :

Total Pengunjung :

Followers